Jumat, 07 Juni 2013

INSPIRASI DARI JANTUNG BORNEO

Krayan, Nunukan Kalimantan Utara

Mencari persamaan akan lebih mendamaikan ketimbang mengotak-atik perbedaan. Ini lah yang menjadi kepercayaan masyarakat di dataran tinggi, jantung Borneo, alias Pulau Kalimantan.
Di Dataran tinggi itu ada masyarakat yang mengaku satu leluhur, satu rumpun, dan satu adat. Meski sebuah garis adminitrastif telah memisahkan mereka sebagai masyarakat di dua negara yang berbeda, namun mereka bisa menciptakan sebuah harmonisasi hubungan yang saling menguntungkan. Mereka adalah masyarakat negara Indonesia di wilayah Krayan, Nunukan, Kalimantan Timur dan masyarakat di wilayah Sarawak dan Sabah, Malaysia
Sejak November 2006, masyarakat adat dari kedua negara Malaysia dan Indonesia, telah mendeklarasikan terbentuknya sebuah forum adat dataran tinggi Borneo (FORMADAT).
Deklarasi itu menunjukkan pemikiran visioner masyarakat bahwa tanah dan masa depan masyarakat adat di dataran tinggi Borneo, walaupun secara administratif terpisah, adalah satu dan membutuhkan komitmen bersama untuk membangun penghidupan yang lebih sejahtera dan mempertahankan lingkungan yang baik.
Secara bersama-sama, mereka membangun kerjasama untuk mempertahankan budaya, tradisi, bahasa, dan hubungan masyarakat adat Dataran Tinggi Borneo. Mereka juga bersama-sama, mengembangkan usaha ekonomi yg berkelanjutan, antara lain melalui pertanian organik, ekowisata berbasiskan masyarakat, dan membentuk jaringan perdagangan yang adil.
Jadi, ketika banyak konflik terjadi antara Indonesia dengan negara Jiran Malaysia, maka kita akan melihat suasana lain di tengah masyarakat di Dataran Tinggi Borneo.
Kerukunan mereka tak hanya ditujukan bagi keharmonisan masyarakat dua negara, tapi juga keharmonisan antara manusia dan alam. Masyarakat kedua negara sepakat untuk mendorong konservasi, sungai, hutan adat, memelihara situs sejarah, dan budaya.
Adalah Lewi G. Paru, seorang ketua adat dari Krayan Selatan, yang kini dipercaya sebagai Ketua Formadat dari pihak Indonesia. Sementara dari Malaysia, ada George Sigar, tokoh dari Bakelalan, Sarawak.
Dari perbincangan host Andy F. Noya dan kedua tokoh ini, kita dapat mengambil banyak inspirasi tentang kedamaian di perbatasan, dan lebih besar lagi, tentang perdamaian masyarakat di dua negara.
Satu hal yang patut dicatat dari pengalaman kepemimpinan mereka, adalah sikap rela berkorban.
Lewi G. Paru, sebagai Ketua Adat sekaligus Ketua Formadat Indonesia, merasa bahwa akses jalan menuju perbatasan adalah infrastruktur yang harus dibangun untuk tercapainya tujuan bersama itu. Maka, ia rela menjual 300 kerbaunya, untuk pembuatan jalan di perbatasan Krayan menuju Sarawak.
Bagi, Lewi, akses itu lebih rasional, ketimbang memikirkan akses ke ibu kota kabupaten, yang masih harus ditempuh dengan pesawat perintis. Kecamatan Krayan, memang memiliki lokasi yang masih terpencil di tengah rimbunnya hutan Kalimantan. Untuk menuju ke sana, kita harus menggunakan jasa pesawat perintis dari kota Tarakan, Kalimantan Timur.
Selain bekerja sama dalam bidang ekonomi, FORMADAT juga memiliki misi untuk melestarikan budaya adat Lundayeh se-Dataran Tinggi Borneo.
Untuk memenuhi misi itu, mereka membangun Cultural Field School (CFS), sebuah lembaga pelestarian seni budaya yang secara berkala memberikan pelatihan pada generasi muda.
Inilah sebuah gambaran tentang harmoni yang indah di perbatasan dua negara. Bayangkan, jika di setiap titik perbatasan ada kedamaian seperti ini, betapa kehidupan di bumi ini akan penuh suka cita. Tak ada permusuhan yang ada hanyalah harmoni bagi manusia dan alam semesta.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar