Rabu, 28 Agustus 2013

Warga Krayan Minta Belas Kasihan

Bandara, Long Bawan - 
KRAYAN - Sekitar lima ribuan warga Krayan Induk dan Krayan Selatan Kabupaten Nunukan kembali mendambakan pembukaan akses jalur darat dari Krayan menuju Kabupaten Malinau.

Pasalnya sejak 50 tahun terakhir ini warga Krayan terisolasi dan sangat sulit bertahan hidup. Satu-satunya akses dengan dunia luar dengan sebuah pesawat komersil Susi Air dan MAF. Itu pun hanya terbatas dan tidak setiap hari ada.

Tetua Adat Krayan Induk, Yagun Bangau, mengatakan, pihaknya meminta belas kasihan pemerintah untuk dibukakan akses darat agar warganya bisa membeli kebutuhan pokok setiap hari, dan menjual hasil panen ke Malinau. Karena selama ini warganya hanya membeli segala kebutuhan dari Negara Malaysia, dengan mata uang ringgit dan harganya yang cukup mahal dari harga lokal.

"Kami sudah berkali-kali mendatangi DPR RI dan pejabat Provinsi. Namun segala keinginan kami tidak pernah digubris, kami benar-benar sulit bertahan hidup di sini," tutur Yagun Bangau.

Yagun menjelaskan, jalur Krayan menunu Malinau memang cukup luas, bahkan belum pernah ada lembaga atau instansi Pemerintah melakukan pemetaan jalan.

Padahal usulan pembangunan jalan sudah diajukan sejak lima tahun terakhir dan setiap tahun terus saja kami ajukan kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemprov Kaltim.

"Kami disini sebenarnya hanya ingin hidup layak saja seperti wilayah lainnya, dan jangan sampai kami teriak merdeka atau bergabung ke Malaysia baru diperhatikan,"tuturnya.

Sementara, mantan Anggota Komisi I DPRD Nunukan Muthang Balang menanggapi persoalan pembukaan akses jalan dengan nada keras. Bahkan, dirinya mengatakan Indonesia tidak becus mengurus wilayahnya dan menyarankan untuk melelangkan Krayan atau menjualnya ke Negara Malaysia atau Singapore.

"Kami hanya diberi janji-janji manis saja jika mendatangi DPR RI, bahkan saat saya di Dewan pun sudah saya perjuangkan ke Pemerintah Pusat agar secepatnya membuka akses jalan, tapi upaya itu sampai sekarang hanya sia-sia," jelasnya yang dihubungi melalui selulernya kemarin.

Keinginan warga Krayan untuk dibukakan akses jalur Darat, sepertiny memang hanya sebuah impian belaka. Pasalnya, berkas usulan pengajuan pembangunan infrastruktur jalan yang diajukan Pemerintah provinsi Kalimantan Timur dengan memanfaatkan Dana Silva APBN 2011, tidak tercantum soal Krayan.

Proposal pengajuan pembangunan jalan tersebut, hanya berfokus pada jalur trans Kalimantan yang menghubungkan Kabupaten Bulungan, Tanjung Redeb, Bontang, hingga Ke Samarinda.

Saat dikonfirmasi Anggota Komisi V DPR RI Hetifah Sjaefudin menyebutkan, sebenarnya bisa diajukan menggunakan dana sisa APBN, namun jika akses jalur darat dari Krayan menuju Malinau masuk dalam wilayah kawasan hutan konservasi Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), maka harus di selesaikan dulu.

"Pembangunan jalan yang melalui TNKM, maka harus di-clear-kan dulu, namun dalam pendanaan bisa memanfaatkan dana sisa APBN, tapi ini diajukan dulu sama Provinsi dong," tegas Hetifah.

Sebelumnya, Wakil Bupati Nunukan Azmah Gani menyebutkan, jalur akses darat dari Kecamatan Krayan menuju Kabupaten Malinau wajib dilakukan agar ekonomi masyarakat Krayan bisa ditingkatkan dan pembangunan bisa dilakukan di daerah terisolasi tersebut.

"Krayan ini salah satu komitmen saya dengan Pak Basri agar masyarakat Krayan tidak terisolasi, untuk itu kita lakukan pengajuan shering Anggaran antara Nunukan, Malinau, Pemprov Kaltim dan Pusat," jelasnya beberapa waktu lalu kepada Koran Kaltim.

Hal ini dibenarkan oleh Wakil Bupati Malinau, Topan Amrullah. Menurutnya antara Bupati Nunukan dan Malinau sudah menjalin kerja sama untuk membangun jalan dari Krayan menuju desa terdekat di Kabupaten Malinau, hanya saja penanda tanganan tersebut baru menggunakan APBD Kabupaten masing-masing, dan pengajuan usulan masih di usulkan sama Pemerintah Pusat dengan APBN melalui usulan Pemprov Kaltim.

"Kita memang ada perjanjian dengan Nunukan, namun untuk membangun jalan dari kedua sisi yaitu dari Krayan dan Malinau dulu, ini kota harapkan sebagai motivasi Provinsi untuk meneruskannya sampai jalannya tembus, karena jalur antar Kabupaten ini menjadi kewajiban Provinsi dan Pusat," jelasnya saat ditemui Koran Kaltim di VIP Bandara Juwata Tarakan.

Sementara, menurut situs Pemprov Kaltim, TNKM yang memiliki luas sekitar 1,3 juta hektar, dan jalur jalan darat yang akan dibuka akan melalui sekitar 3 sungai besar selebar 10 -40 meter, dan 500 anak sungai selebar 2-10 meter.

Sulitnya medan, membuat pembukaan akses jalan ini belum terealisasi hingga saat ini, padahal keterisoliran warga Krayan sudah sangat memprihatinkan.

Sumber : inilah.com

Jumat, 28 Juni 2013

Meski Kaya Potensi Alam, Krayan Tetap Butuh Perhatian Khusus

Di Balik Senyuman Indah Warga Krayan, Kecamatan
Krayan begitu kaya akan hasil alamnya, tak heran jika sebelumnya warga setempat sangat bergantung dengan alam sekitar. Bahkan Krayan juga salah satu kecamatan yang sangat luas, menaungi lebih kurang 70 desa. Krayan juga diketahui sebagai kecamatan yang memiliki jumlah desa terbanyak di Indonesia. Sayang meski kaya akan keindahan alamnya, pesona Krayan hingga kini masih sulit dijangkau karena kendala transportasi dan infrastruktur yang kurang memadai.
Setelah puas belajar dan bermain di Culture Field School (CFS) di rumah kubu lepoo dan daan di Desa Terang Baru, hari selanjutnya kami mengunjungi air terjun Pa’ Remayo yang konon menjadi objek handalan di Kecamatan Krayan tepatnya di Desa Pa Betung. Selain menjadi tempat wisata air terjun Pa’ Remayo juga menjadi tumpuan Pembangkit Tenaga Listrik Air (PLTA) untuk penerangan di sejumlah desa di Krayan.
Udara sejuk di Long Bawan tidak mengurangi niat kami menuju Desa Pa Betung. Hanya saja hingga pukul 11.00 siang waktu setempat, kami belum juga beranjak menuju air terjun itu. Ini dikarenakan lagi-lagi kami kesulitan transportasi untuk bisa sampai kesana. Padahal untuk sampai ke air terjun itu kita membutuhkan banyak waktu lebih kurang dua hingga tiga jam.
Berkeliling Long Bawan kami mencari kendaraan sambil menanyakan akses jalan menuju Pa’ Remayo. Kebanyakan dari warga yang kami temui mengaku belum pernah datang ke sana. “Bapak mau ke air terjun ? Jalanannya jauh pak saya saja orang sini belum pernah berkunjung kesana. Apalagi kalau pas hujan bisa-bisa tidak tembus ke air terjunnya,” jelas salah satu warga Long Bawang kepada Juni Mardiansyah Kepala BKPMPT Nunukan saat mencari kendaraan sewa. 
Lama berkeliling kendaraan belum juga kami dapat. Pasalnya untuk sewa motor biayanya lebih kurang Rp 500 ribu rupiah sementara untuk mobil bisa bekisar satu juta hingga satu juta lima ratus ribu rupiah. Beruntung di perjalanan kami bertemu dengan Alex Balang salah satu warga Long Bawang yang aktif di Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi (Formadat). Laki-laki bertubuh besar itu aktif sebagai relawan pemerhati ecowisata di Kecamatan Krayan.
“Bapak dengan rombongan mau ke air terjun kah ? Tempatnya memang bagus pak, tapi sayang jalanannya belum mulus. Saya sarankan Bapak bersama teman-teman naik motor saja kesananya biar tidak terlalu jauh jalan kaki untuk mencapai puncak air terjunnya. Tapi saya ingatkan agar lebih berhati-hati karena kondisi jalan berlubang, sempit dan banyak tumbuhan liar. Kalau tidak hati-hati bisa jatuh,” terang Alex kepada rombongan BKPMPT Nunukan.
Sekedar diketahui Krayan memang memiliki kekayaan yang berlimpah. Namun perhatian yang saat ini diberikan masih jauh dari yang diharapkan warga setempat. Seandainya Pemerintah Pusat mau bekerjasama lebih ekstra dengan Pemerintah Daerah Kabupetan Nunukan. Dipastikan Krayan menjadi salah satu teras perbatasan NKRI yang terindah dan terkenal di Asia maupun hingga penjuru dunia. Seperti harapan Alex Balang yang hingga kini tidak pernah berputus asa untuk terus memperkenalkan lokasi wisata di Krayan di khalayak luas.
“Kalau saya sebagai warga disini tidak berharap yang macam-macam kepada pemerintah. Mimpi saya kedepan semoga Pemerintah Pusat mau lebih memberikan perhatiannya kepada daerah-daerah perbatasan khususnya di tanah Krayan ini. Bagaimana pembangunan disini bisa maksimal kalau hanya mengandalkan pemerintah daerah yang secara anggaran saja kita saat ini sudah sangat terbatas. Seandainya ada perhatian khusus dan pemerintah mau berkorban untuk glontorkan anggaran fokus kepada pembangunan Krayan, mungkin tidak hanya kami tapi seluruh Indonesia juga akan bangga terhadap Krayan karena bisa mengejar ketertinggalan kita dengan negera tetangga,” harap Alex kepada pemerintah untuk laju pembangunan di kecamatan perbatasan itu.
Akhirnya kendaraan pun siap kami kemudian langsung menuju Desa Pa Betung tempat air terjun Pa’ Remayo. Seperti yang sudah diingatkan warga lokal untuk menikmati air terjun tersebut tidaklah mudah. Beberapa kali terjatuh karena jalanan yang buruk akhirnya kamipun tiba di tingkatan ke dua air terjun itu. Tak ingin mensia-siakan waktu kami langsung menikmati kesejukan dan derasnya air terjun Pa’ Remayo. Selain itu kami juga tidak lupa mengabadikannya dengan berfoto bersama sebelum akhirnya kami kembali pulang ke penginapan di Desa Long Bawan
“Biarpun kami sempat jatuh dan harus mendorong motor karena terjebak kubang lumpur, tapi pas sampai di Pa’ Remayo bahagianya sungguh luas biasa. Lelah kami tu terbayar sama segarnya deras air terjun Pa’ Remayo bah. Sayang kami enda bisa lama-lama disana karena sudah kesorean jadi kami harus cepat pulang biar tidak kemalaman sampai penginapan,” tutup Juni Mardianysah. (***)

Sumber : Radar Tarakan

Masyarakat Krayan Minta Pembangunan di Perbatasan Diperhatikan

Kampung Baru, Krayan
Kalimantan Utara - NUNUKAN, (kalimantan-news) - Masyarakat Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara meminta perhatian pemerintah untuk membangun fasilitas umum yang sangat dibutuhkan dalam rangka peningkatan perekonomiannya.
Perwakilan seluruh suku di kedua kecamatan yang berbatasan dengan Sarawak Malaysia, Gat Kaleb, di Nunukan, Jumat (17/5), menyatakan fasilitas yang paling dibutuhkan masyarakat di kedua kecamatan yang berbatasan dengan Sarawak Malaysia itu adalah pembangunan infrastruktur jalan, sarana komunikasi dan transportasi udara menuju ibu kota Kabupaten Nunukan dan daerah lain di sekitarnya.
Menurut Ketua LSM Adat Tanah Tefun itu, kehidupan masyarakat di kedua kecamatan itu sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia sehingga merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Gat Kaleb menyatakan perlu diketahui bersama kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat di Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan selama ini sekitar 90 persen disuplai dari Sarawak Malaysia yang harganya sangat tinggi yang membuat masyarakat setempat merasa lebih diperhatikan dari negara tetangga.
Oleh karena itu, Gat Kaleb menegaskan pemerintah memiliki kewajiban membangun infrastruktur yang menghubungkan wilayahnya dengan perbatasan Krayan dengan Sarawak agar roda perekonomian masyarakat bergerak.
Namun dia mengakui, sejumlah poros jalan di wilayahnya telah dibangun oleh pemerintah tetapi belum dapat dimanfaatkan secara maksimal akibat kondisinya yang rusak parah.
"Bayangkan kalau kendaraan setiap melintas di jalur jalan yang ada sekarang ditarik menggunakan tali baru dapat melintas yang menyebabkan ekonomi masyarakat stagnan dan harga semakin meningkat," ucap Gat Kaleb.
Ia menegaskan, pemerintah sedapat mungkin melakukan pembangunan dengan skala prioritas di wilayah perbatasan di kecamatan itu dengan memperbaiki kondisi jalanan yang telah ada sekarang supaya dapat dimanfaatkan masyarakat setempat.
Gat Kaleb mencontohkan kondisi jalan dari Long Bawang menuju perbatasan dengan Sarawak sangat mengkhawatirkan sehingga masyarakat setempat kesulitan menyuplai barang kebutuhan pokok dari Malaysia.
"Bagaimana masyarakat disana bisa hidup kalau kondisi jalanan yang rusak parah. Sementara jalur itu satu-satunya jalan yang menghubungkan dengan Malaysia," ujarnya.
Terkait dengan sarana komunikasi sendiri, dia mengakui telah ada jaringan telkomsel di Kecamatan Krayan. Tetapi di Kecamatan Krayan Selatan sama sekali belum ada sehingga menyulitkan masyarakat.
Jadi, lanjut dia, masalah sarana komunikasi ini tergantung kebijakan pemerintah saja yang benar-benar berpihak kepada kepentingan masyarakat di wilayah perbatasan.
Kemudian dari sisi transportasi udara (penerbangan), Gat Kaleb menilai pemerintah tidak serius untuk memperbaikinya karena setiap tahunnya selalu bermasalah.
Selama ini, penerbangan dari ibukota Kabupaten Nunukan ke Krayan Selatan hanya sekali dalam seminggu dengan jumlah penumpang paling tinggi tujuh orang.

Makanya dia sangat mengharapkan frekuensi penerbangan di wilayah itu dapat ditambah agar masyarakat dapat memanfaatkannya. (das/ant)

Sumber : Kalimantan News

Rabu, 26 Juni 2013

“Dosa-dosa” Pemerintah terhadap Warga Krayan, Nunukan

Pa' Kebuan, Krayan

(1) Harga Kebutuhan Pokok Bergantung Cuaca

Sudah banyak cerita sedih diumbar warga Kecamatan Krayan Induk, Kabupaten Nunukan, sejak bangsa ini merdeka tahun 1945. Sudah banyak pejabat kabupaten, provinsi, hingga pusat  silih berganti berkunjung. Namun pembangunan tidak juga dilakukan. Kalaupun ada, terkesan seadanya.
Di Kaltim terdapat 3 kabupaten yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Ketiganya adalah Malinau, Nunukan, dan Kutai Barat atau disingkat Manukubar. Dari ketiganya, terdapat 15 kecamatan yang langsung berbatasan dengan Malaysia.
Ironisnya, dari ke-15 kecamatan itu, terdapat beberapa kecamatan yang benar-benar tertinggal dan terisolir. Di antaranya adalah Krayan Induk dan Krayan Selatan, dua wilayah yang masuk Kabupaten Nunukan.
Lebih ironis lagi, kedua daerah itu benar-benar masih bergantung pada negara tetangga kita untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pasalnya, di daerah ini belum ada jalan darat dan hanya bisa ditempuh melalui transportasi udara.
Untuk datang ke kedua wilayah ini, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Rp 700 ribu untuk sekali penerbangan tanpa subsidi. Jika disubsidi, biaya yang dikeluarkan menjadi Rp 230 ribu dari Tarakan dan Rp 280 ribu dari Nunukan.
Maskapai penerbangan yang melayani rute ini, yakni Susi Air. Ada juga MAF (Mission Aviation Fellowship) yang sesekali melakukan penerbangan dengan misi keagamaannya. Ada pula Sabang Merauke Air Charter (SMAC) yang kini sudah tidak beroperasi sejak terjatuhnya pesawat ini di hutan Kampe Gunung Kijang, Kepulauaan Riau.
Sehingga, maskapai yang rutin mendatangi wilayah ini hanya Susi Air yang rata-rata dikemudikan warga negara asing (WNA) setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Ribuan warga Krayan benar-benar bergantung keahlian sang pilot. Sebab, penerbangan ke Krayan sangat bergantung pada cuaca yang nyaris tak menentu. Jika berkabut, penerbangan akan dibatalkan.
Akibat belum tembusnya jalan darat ini, maka hampir 90 persen kebutuhan hidup ribuan warga Krayan diambil dari Malaysia. Itupun tergantung kebaikan para penjaga perbatasan negara yang mengaku saudara serumpun ini.
“Kalau yang jaga perbatasan tentara dari Semenanjung, maka warga harus siap-siap membatasi barang bawaan. Seperti kejadian beberapa waktu lalu, setiap orang hanya dibatasi membawa 1 kilo gula,” tutur Kepala Adat Krayan Darat, Yagung Bangau.
Perjalanan dari Krayan menuju perbatasan juga tidak mudah. Jarak 15 kilometer harus mereka tempuh untuk mencapai garis perbatasan dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Jika hujan, mereka berjalan kaki.
Jauhnya jarak yang harus ditempuh dengan kondisi jalan tanah dan cuaca yang tak menentu, membuat harga barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan hingga beberapa kali lipat dari harga awal. Seperti harga minyak tanah yang mencapai Rp 22 ribu per liter, premium dijual Rp 40 ribu per liter, daging ayam dijual Rp 65 ribu per kilogram. Harga semen pun bisa mencapai Rp 600 ribu per sak. Semua harga itu adalah harga jika jalan dapat ditempuh dengan kendaraan. Jika hujan, maka harga akan merangkak naik lagi.
Bisa dibayangkan betapa berat beban hidup yang harus ditanggung warga Krayan. Apalagi ribuan warga hanya mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian mereka. Selain garam gunung yang mereka hasilkan. Tapi sebanyak-banyaknya hasil yang diperoleh, tetap saja masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Seorang warga Krayan, Mes Kanter (35), yang berprofesi sebagai sopir, kepada media ini mengatakan, warga Krayan sudah bosan dan muak dengan kunjungan para pejabat,  karena tak berdampak pada kehidupan mereka.
“Seakan-akan kami ini hanya subyek untuk dikunjungi. Kalau pemerintah benar-benar peduli, seharusnya jalan tembus ke Malinau sudah jadi sejak dulu. Tapi sampai sekarang, kami tetap saja beli barang kebutuhan pokok ke Malaysia,” tegas pria yang memiliki mobil jenis Hiline dan bernomor polisi Malaysia ini. (***)

(2) “Setiap Pejabat Datang, Selalu Bertanya hingga Mulut Berbusa”

Keterisoliran Kecamatan Krayan Induk di Kabupaten Nunukan disebabkan belum adanya jalan darat. Diyakini, jika jalan darat ini sudah ada, maka keterisoliran – yang berimbas kepada kemiskinan, serta mahalnya harga kebutuhan pokok dapat teratasi. Tapi sampai kapan warga harus menunggu?

Data yang dimiliki media ini, pada tahun 2011, melalui pendanaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN), akan dibangun jalan tembus dari Malinau ke Krayan Induk. Dananya mencapai Rp 100 miliar.
Dana itu akan digunakan untuk membangun jalan sepanjang 60 kilometer dari Malinau menuju Peking. Padahal untuk mencapai Krayan Induk, masih ada sekitar 80 kilometer lagi. Jalur ini dipilih karena lebih dekat dengan Long Midang, ibukota Krayan Induk jika dibandingkan menuju Nunukan yang menjadi kabupaten dari Krayan Induk.
Ironis memang, ketika pemerintah pusat sudah mengucurkan dana ratusan miliar, ternyata Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim malah kurang mendukung. Bahkan sempat jadi polemik soal dugaan hilangnya anggaran perbatasan dari APBD Kaltim. Setali tiga uang, APBD Nunukan juga kurang mendukung pembangunan di kawasan yang identik dengan keterisoliran dan kemiskinan ini.
“Sebenarnya ada jalan tembus yang merupakan jalan perusahaan. Tapi warga menyetop perusahaan, sebab pembuatan jalan itu mengorbankan hutan. Perusahaan mengambil kayu dari setiap jalan yang dilalui,” terang Damus Singa, anggota Komisi III DPRD Nunukan yang terpilih dari daerah pemilihan (dapil) Krayan Induk.
Benar saja, warga Krayan yang ditemui media ini mengaku tidak setuju jika pembangunan jalan tembus dengan mengorbankan hutan. Sebab dari areal Hutan Lindung Kayan Mentarang itulah mereka dapat bertahan hidup.
Serba salah memang, tapi fakta inilah yang terjadi. Pemerintah daerah justru yang terlihat ngotot membangun jalan tembus ke Krayan bekerja sama dengan pihak ketiga dengan iming-iming sumber daya alam (SDA) hutan yang melimpah.
“Jika pemerintah benar-benar peduli, bisa saja jalan tembus dibangun dengan menggunakan anggaran daerah dan pusat. Tapi hanya pusat saja yang mengucurkan dana, kabupaten dan provinsi tak pernah peduli,” tutur Yagung Bangau, kepala Adat Krayan Darat.
Apakah membangun jalan di Hutan Lindung Kayan Mentarang diperbolehkan? Kementerian Kehutanan (Kemenhut) melalui Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan, Bambang Soepijanto mengatakan, pemerintah pusat sangat mendukung program pembangunan dan akan memberikan izin atau rekomendasi pembangunan jalan yang memasuki kawasan Hutan Lindung dengan status pinjam pakai.
“Pembangunan jalan melalui hutan lindung masih diperbolehkan selama bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Asal dalam pembangunan tidak merusak alam dan pemerintah daerah menjamin tidak terjadi eksploitasi sumber daya alam. Jadi itu bukan kendala,” tuturnya.
Hanya saja, informasi yang dikumpulkan media ini, samapi sekarang, Pemprov Kaltim maupun Pemkab Nunukan belum pernah mengusulkan trase jalan tembus dari Malinau menuju Krayan Induk yang melalui Hutan Lindung Kayan Mentarang.
Apalagi tidak ada kepastian, apakah trase jalan tembus itu telah masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kaltim yang kini sedang digodok. Jika tidak, jelas ini akan mengganggu pembangunan jalan tembus Malinau-Krayan Induk.
“Krayan adalah daerah segitiga emas, karena menjadi perbatasan antara Indonesia, Sabah, dan Serawak. Karena itu, usulan trase jalan melalui hutan lindung harus segera dilakukan Pemkab Nunukan atau Pemprov Kaltim,” ucap anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Kaltim, Bambang Susilo.
Pembangunan jalan tembus Malinau-Krayan saat ini adalah sebuah keharusan. Sebab masyarakat Krayan saat ini tengah dihadapkan pada dilema, yakni tetap bertahan sebagai warga Negara Indonesia atau beralih menjadi warga negara Malaysia, negara yang menjadi tempat menggantungkan 90 persen kebutuhan hidup mereka.
Jika pemerintah benar-benar peduli, maka tidak boleh lagi membenturkan masyarakat dengan berbicara rasa patriotisme. Sebab yang terpenting bagi sekitar 16.000 warga Krayan adalah menghidupi orang-orang yang berada di Krayan.
Menurut Pendeta Matsuel, warga Krayan, ada tiga tindakan untuk menghapus “dosa-dosa” pemkab, pemprov, dan pemerintah pusat, yakni melakukan keinginan masyarakat Krayan melalui tiga hal, seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan infrastruktur, dan memberi layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai.
“Masyarakat Krayan saat ini memerlukan bukti nyata, bukan sekadar janji. Setiap pejabat daerah maupun pusat datang, saya selalu berdiri dan bertanya hingga mulut berbusa, tapi bukti pembangunan tidak pernah ada,” tutur Matsuel. (***)

(3) Puluhan Miliar untuk Pembangkit Listrik Terbengkalai

Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan fasilitas dasar yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, seperti listrik, air, dan jalan. Tetapi pembangunan yang diberikan terkesan hanya mengejar proyek bagi kepentingan pengusaha. Soal dipakai atau tidak, bukan urusan.

MELIHAT kehidupan keseharian 16.000 warga Krayan, dapat dikatakan sangat jauh dari kata layak. Bagaimana tidak, fasilitas jalan di dalam ibu kota kecamatan masih dalam keadaan rusak parah, apalagi yang menuju kota terdekat atau perbatasan. Belum lagi berbicara masalah listrik yang dapat dikatakan pas-pasan.
Untungnya ketersediaan air bagi warga dapat terpenuhi karena melimpahnya sumber daya air dari pegunungan di sekeliling Krayan Induk. Tak perlu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) mengolahnya, sebab air yang tersedia sudah dapat dikatakan layak diminum. Lebih jernih dari air yang diolah PDAM di Samarinda, Balikpapan, atau kota besar lainnya.
Lelah memikirkan jalan tembus Malinau-Krayan yang tak jelas terealisasi, karena dananya yang belum jelas. Masyarakat Krayan justru dihadapkan pada proyek pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten yang justru tak mendukung kebutuhan warga atau malah terbengkalai.
Salah satu proyek yang disoal masyarakat, yakni, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di daerah Pare Mayo 2. Pembangkit listrik yang dibangun pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) senilai Rp 6,5 miliar dan dikerjakan sejak tahun 2009.
Pembangkit listrik yang dibangun dengan kemampuan produksi 250 kilo volt amphere (KVA) itu hingga kini tak kunjung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Malah pengerjaan terkesan seadanya dan malah terbengkalai.
“Kami sudah kejar penyelesaian pembangunannya. Tetapi masalahnya ada di kontraktornya yang tak kunjung menyelesaikan. Padahal semua bahan sudah siap dan tinggal dirangkai saja,” tutur Sekretaris Camat Krayan Induk, Mafri Kornelius.
Informasi yang diperoleh Mafri mengenai pembangunan pembangkit listrik itu, kendala penyelesaian pembangkit listrik itu terletak pada pemasangan dinamo dan turbin yang tak kunjung dilakukan. Parahnya, kontraktor seakan tak bertanggung jawab dengan proyek itu.
Tak hanya itu, bendungan yang dibangun sebagai sumber energi PLTA juga telah jebol. Itu terjadi karena ketebalan dinding bendungan yang tak mampu menahan tekanan air. Apalagi bendungan dibangun tanpa menggunakan besi untuk memperkokoh bendungan.
Nasib proyek dari pemerintah pusat ini ternyata tak berbeda jauh dengan proyek Pemprov Kaltim. Ada dua proyek yang diketahui masyarakat yang bersumber dari APBD Kaltim, yakni peningkatan Bandara Yuvai Semarin dan pembanguan jalan trans Kalimantan, yakni, dari perbatasan menuju Binuag sepanjang 20 kilometer.
Setelah melihat langsung Bandara Yuvai Semarin, kondisinya tak berbeda jauh dengan kondisi sebelum-sebelumnya, yakni, memiliki panjang landasan 1.200 meter. Meski cukup untuk mendarat pesawat Hercules, tetapi dasar landasan yang tak kokoh membuat bandara itu hanya mampu didarati pesawat jenis Karavan milik Susi Air.
“Kalau landasan kuat, maka Hercules bisa mendarat. Itu sangat penting, sebab pesawat jenis itu mampu membawa kargo lebih banyak dibandingkan pesawat jenis Karavan. Otomatis harga kebutuhan pokok bisa lebih murah,” tutur Yagung Bangau, kepala Adat Krayan Darat.
Tak berbeda jauh, jalan darat dari perbatasan hingga Binuag kondisinya masih saja berupa tanah pengerasan. Hanya saja, jalan itu sudah kembali rusak, karena kondisi cuasa yang cukup ekstrem. Ditambah beban dan intensitas kendaraan yang melintas cukup intens.
“Pemprov Kaltim tahun ini telah memasukkan peningkatan Bandara Yuvai Semarin sebagai prioritas. Ada sekitar Rp 135 miliar dana yang akan disiapkan,” terang Kepala Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Terpencil (BPKP2DT) Kaltim, Adri Patton.
Begitupula dengan proyek Pemkab Nunukan, sebuah proyek pembangunan bendungan sebagai irigasi lahan pertanian yang telah selesai dikerjakan, hingga kini tak dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Permasalahannya, yakni, terletak pada penempatan lokasi bendungan. Berdasarkan topografi Kecamatan Krayan Induk, bendungan berada di bagian bawah lokasi sawah. Sehingga air dari bendungan tidak dapat mencapai persawahan masyarakat.
Ini hanyalah sebagian kecil dari proyek pemerintah yang telah dikerjakan di Krayan. Warga Krayan Induk sebenarnya bingung dengan kebijakan pemerintah, sebab proyek yang dikerjakan banyak yang tak sesuai dengan kebutuhan mendasar masyarakat. (***)

(4) Mempertahankan Negara dengan Pulsa Pribadi

TAK ada kata pantang menyerah di dalam diri 70 personel TNI yang menjaga 3 pos pengamanan perbatasan (pamtas) di Krayan, yakni, di Long Bawan, Long Midang, dan Lembudud. Mereka harus mempertahankan batas negara selama setahun, sebelum diganti rekan seprofesi.

MESKI pos pamtas yang mereka tempati terkesan seadanya dan tanpa fasilitas maksimal untuk menjaga perbatasan, tapi prajurit Indonesia yang dikenal dengan keberaniannya itu tetap tak mengeluh.
Sangat mencolok memang dengan fasilitas pos penjagaan yang dimiliki Tentara Diraja Malaysia (TDM). Dengan fasilitas seadanya, sangat wajar jika beberapa tentara Malaysia kerap semena-mena dengan warga Krayan. Tapi itu harus dijalani, sebab warga memang menggantungkan hidup mereka di sana. Selain untuk membeli kebutuhan pokok, warga juga harus ke sana untuk menjual hasil alam yang mereka olah, seperti padi, garam gunung, dan hasil hutan non kayu.
Sedikit menengok pos pamtas milik TNI, tidak ada satupun telepon satelit yang tersedia. Komunikasi hanya dilakukan dengan menggunakan handy talky (HT) yang maksimal hanya mampu menjangkau Nunukan.
Bahkan tak jarang informasi penting mengenai perbatasan harus diinformasikan dengan menggunakan handphone milik anggota TNI.
“Tapi kadang-kadang sinyalnya hilang. Jadi kami harus tahu daerah yang cukup baik sinyalnya untuk mengirim informasi. Pulsanya, ya, pakai pulsa sendiri,” tutur Danramil Krayan, Letda Yulga Mahendi.
Tak berbeda jauh dengan pos pamtas, Koramil di Krayan Induk malah lebih menyedihkan nasibnya. Warga krayan yang berjumlah 16 ribu, hanya diberi 9 personel TNI yang bertindak sebagai Babinsa. Itu masih mending, di Krayan Selatan, jumlah Babinsa hanya ada 2 orang.
Kesan seadanya memang tak bisa dipisahkan dari pengamanan perbatasan. Kalah dari segi fasilitas, tak membuat akal luntur untuk menjaga tapal batas.
“Terkadang ada waktu tertentu kami mengundang tentara Malaysia ke sini (Krayan, Red.) atau kami yang ke sana (Malaysia, Red.) untuk mengajak latih tanding voli. Selain menjaga rasa persaudaraan, itu juga sebagai sarana agar warga Krayan yang melintas tak dipersulit,” ucap Yulga.
Wajar jika Yulga memilih cara pendekatan seperti itu. Sebab, jika terjadi konflik, jelas sekali perbatasan kita kalah dalam segala hal, terutama persenjataan. Cara ini ternyata efektif tak hanya untuk menjaga kedaulatan perbatasan RI di Krayan, tetapi juga memudahkan warga untuk memenuhi kebutuhan hidup yang 90 persen berasal dari Malaysia.
Persoalan keamanan di perbatasan darat memang selalu dikeluhkan. Hal itu sangat wajar, sebab panjang perbatasan Kalimantan-Malaysia dari Kaltim hingga Kalbar mencapai 2.004 kilometer.
Sepanjang perbatasan itu hanya dijaga 41 pos pamtas, meski akan dibangun 13 pos pamtas lagi. Tapi hal itu jelas masih jauh dari kata cukup untuk menjaga perbatasan. Apalagi, hingga kini, masih ada sekitar 10 titik perbatasan yang belum dapat diselesaikan antara Indonesia dan Malaysia. Sepuluh titik tersebut bisa menciptakan konflik yang sedemikian luas.
Sanggupkah penjaga di pos pamtas sebagai garda terdepan untuk menjaga wajah Indonesia? Jawabannya tentu sangat bergantung kesiapan personel TNI didukung persenjataan dan fasilitas penunjang yang harus segera diberikan. (***)

(5) Hanya Kata Maaf dan Terima Kasih untuk Guru

UMAR Bakri, Umar Bakri, pegawai negeri. Umar Bakri, Umar Bakri, empat puluh tahun mengabdi. Jadi guru jujur berbakti memang makan hati. Umar Bakri, Umar Bakri. Banyak ciptakan menteri. Umar Bakri, profesor dokter insinyur pun jadi. Bikin otak orang seperti otak Habibie. Tapi mengapa gaji guru Umar Bakri seperti dikebiri.

Itulah salah satu syair karya Iwan Fals yang menggambarkan betapa susah dan sedihnya seorang guru di negara yang katanya kaya raya ini, termasuk di Kaltim. Syair yang sangat tepat menggambarkan kondisi guru di kawasan perbatasan Krayan Induk, Kabupaten Nunukan.
Ketika para guru berstatus PNS itu rela dikirim ke ujung negeri Indonesia, di sebuah daerah terisolir bernama Krayan, sebanyak 354 guru tetap bersedia memberi ilmu kepada warga yang mayoritas bersuku Dayak Lundayeh.
Sayangnya, pepatah lama yang menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, benar-benar berlaku bagi para pendidik ini. Tak hanya diberi fasilitas seadanya, bahkan gaji, dana sertifikasi, insentif, hingga tunjangan perbatasan juga terkadang datang terlambat.
Hingga media ini mendatangi Krayan akhir Maret lalu, para guru tetap belum menerima hak mereka.
“Ratusan guru bahkan berencana turun (berangkat, Red.) ke Nunukan. Rencananya mau demo dan mendatangi Dinas Pendidikan untuk mempertanyakan dana sertifikasi dan tunjangan perbatasan,” ungkap Gukang, salah seorang guru senior di Krayan Induk yang telah mengabdi selama 25 tahun.
Tak hanya itu, banyak juga guru yang telah mengabdi selama 5 hingga 10 tahun yang belum
masuk dalam daftar penerima tunjangan perbatasan maupun dana sertifikasi.
Ini menunjukkan guru seperti Gukang dan 353 guru lainnya di Krayan masih saja menjadi objek oknum tak bertanggung jawab untuk memperkaya diri sendiri. Dugaan korupsi muncul akhir Desember lalu, ketika Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melakukan klarifikasi ke Bendahara Umum Pemkab Nunukan dan BPD Nunukan.
Dana sertifikasi guru sebesar Rp 1,3 miliar telah cair sejak 31 Desember 2010. Itu dibuktikan dengan rekening koran yang menunjukkan saldo Dinas Pendidikan Nunukan hanya tersisa Rp 558,17 juta. Belum lagi bukti surat perintah membayar No 0650/SPM.LS/DISDIK/2010 tertanggal 22 Desember 2010 berisi surat perintah pencairan dana (SP2D) yang ditandatangani Bendahara Umum pada 28 Desember 2010. Dana tunjangan profesi guru ini telah dicairkan ke nomor rekening Disdik Nunukan nomor 009 140 5512.
Campur tangan penegak hukum sangat ditunggu untuk membuktikan kebenaran di balik dugaan yang secara tak langsung merugikan nasib ke-354 guru di Krayan Induk.
Saat ini di Krayan Induk terdapat 5 taman kanak kanak (TK), 27 sekolah dasar (SD), 7 sekolah menegah pertama (SMP), 4 sekolah menengah atas (SMA), 1 sekolah menegah kejuruan (SMK), dan 1 perguruan tinggi.
Terlihat sudah cukup banyak, tapi fakta di lapangan berkata lain. Semua sekolah tidak memiliki fasilitas perpustakaan yang menjadi laman bacaan bagi peserta didik untuk menambah ilmu dan membuka cakrawala keilmuan.
Para pejabat sering berucap terima kasih kepada guru. Tapi, jika soal fasilitas pendidikan dipertanyakan, hanya kata maaf yang tertutur untuk guru.
Kepala Kantor Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah, Yunus Ngai, tak membantah keterbatasan fasilitas yang diberikan pemerintah bagi peserta didik. Sebagai ujung tombak kemajuan pendidikan di Kecamatan Krayan Induk, Yunus mengaku tidak bisa berbuat banyak.
“Kebijakan ada di Pemkab, Pemprov, dan Pemerintah Pusat. Kami di sini hanya pelaksana. Tidak bisa berbuat lebih. Ketika fasilitas diberi seadanya, ya, itulah yang harus kami manfaatkan,” terang pria yang mengaku jatuh cinta dengan Kecamatan Krayan ini.
Jika anda ingin merasakan sekolah ala Kecamatan Krayan, maka jangan  berharap bisa menemukan komputer, listrik yang memadai, apalagi buku bacaan yang lengkap. (***)

(6) Jalur Alternatif, Murah Tapi Ada Batas Waktu

Terisolir. Begitulah gambaran kondisi geografis Kecamatan Krayan Induk, Kabupaten Nunukan. Sebenarnya ada jalur alternatif yang dapat ditempuh. Tapi jalur itu sangat panjang dan jauh. Juga, ada batas waktunya.

Jika anda ingin menuju Krayan Induk saat ini, maka jalur udara adalah satu-satunya jalur yang dapat dilakoni. Itu jika ditempuh dari Indonesia. Sebenarnya Krayan juga dapat ditempuh dengan jalur darat, tapi harus lewat Malaysia.
Jalur yang ditempuh juga tidak main-main, ada beberapa kali persinggahan yang dilakukan. Total waktu tempuh, minimal 24 jam, itu kalau jalan baik. Jika memasuki musim hujan, akan lebih lama lagi waktunya sampai ke Krayan.
Lelah, sepertinya menjadi kata tepat untuk menggambarkan situasi tersebut. Hanya saja, jika memanfaatkan jalur itu, maka warga Indonesia diberi batasan waktu berkunjung ketika tiba di Tawau. Meski tujuan akhir adalah Krayan, tapi ketiadaan kantor imigrasi di perbatasan Krayan, membuat warga harus kembali ke Nunukan ketika batas waktu telah habis.
Informasi yang dikumpulkan media ini dari beberapa warga yang pernah merasakan jalur alternatif itu, yakni, bermula dari Nunukan menuju Tawau. Jalur air ini dapat ditempuh dengan menggunakan speedboat selama 40 menit.
Setiba di Tawau, warga langsung melanjutkan perjalanan ke Kota Kinabalu dengan menggunakan mobil angkutan. Tarifnya sekarang berkisar 70 ringgit, jika di kurs-kan ke rupiah sekitar Rp 200 ribuan dengan waktu tempuh sekitar 11 jam.
Dari Kota Kinabalu, warga langsung menuju terminal bis menuju Lawas salama 4 jam dengan tarif 30 ringgit atau Rp 90.000. Sampai sini, warga masih disuguhkan jalan mulus dan bisa menikmati pemandangan. Tapi Lawas masih jauh dari Krayan.
Selanjutnya, dari Lawas warga menuju Bakelalan, sebuah distrik yang dekat dan berbatasan langsung dengan Indonesia. Jaraknya sekitar 147 kilometer. Jalur ini melintasi hutan belantara dengan mobil double gardan. Kondisi jalannya berupa tanah. Jika beruntung mendapat cuaca baik, maka waktu tempuh antara 5 hingga 6 jam saja. Tapi jika jalanan berlumpur, maka waktu tempuh bisa satu hari satu malam.
Tarif yang harus dibayar untuk perjalanan yang mirip adventure ini, sekitar 80 ringgit atau Rp 240 ribuan. Di sini, warga akan diturunkan di Pasar Bakelalan. Pasar inilah yang umumnya digunakan warga Krayan untuk memenuhi 90 persen kebutuhan hidup mereka.
Dari sini, warga masih harus menunggangi sepeda motor. Banyak tukang ojek yang siap mengantar ke perbatasan Indonesia. Para tukang ojek ini jugalah yang biasanya digunakan warga Krayan untuk mengangkut barang kebutuhan pokok seperti sembako. Jarak yang harus ditempuh dari pasar ini ke Long Bawan sekitar 15 kilometer dengan biaya 60 ringgit atau Rp 180 ribuan.
Jika batas waktu yang diberikan di Tawau telah habis, maka warga harus kembali ke Nunukan dengan menggunakan jalur yang sama. Jika dihitung-hitung, perlu dana maksimal Rp 1 juta untuk sampai ke Long Bawan.
“Bagi warga Krayan, jalur ini bisa jadi jalur alternatif jika tidak ada pesawat yang masuk ke Krayan. Dulu biayanya lebih murah dibandingkan naik pesawat. Tapi sejak ada pesawat bersubsidi, biayanya jadi lebih mahal,” terang Kepala Adat Dayak Krayan Darat, Yagung Bangau.
Bagi pecinta traveling, perjalanan pulang kampung warga Krayan ini bisa menjadi alternatif pilihan. Tapi bagi warga Krayan, jalur ini menjadi pilihan kedua. Meski jalur yang dilalui cukup panjang dan melelahkan, tapi keinginan bertemu keluarga tercinta mengalahkan rasa lelah, meski ada batas waktu yang ditentukan. (***)

(7-Habis) Antara Awang Faroek dan Awang Damit

Sudah banyak “dosa-dosa” pemerintah yang dibeberkan warga Krayan Induk, Kabupaten Nunukan. Tapi kepedulian Republik Indonesia atau Provinsi Kaltim terhadap warga di sini tak juga kunjung diberikan secara optimal. Justru warga negara asing yang peduli dengan wilayah ini.

Bertanyalah kepada warga Krayan, kenalkah mereka dengan Awang Faroek Ishak? Ternyata, sebagian besar mengatakan tidak kenal. Tapi bertanyalah siapakah Awang Damit, maka masyarakat akan memuji pria tersebut.
Meski sama-sama bernama depan Awang, tetapi keduanya jelas berbeda. Satunya adalah Gubernur Kaltim, pemimpin tertinggi di Bumi Etam. Sementara Awang satunya, adalah warga negara Brunei Darussalam. Sosok pengusaha yang banyak membantu Krayan Induk.
Mengapa pria yang menjadi pengusaha sukses ini mau membantu Krayan yang berada di wilayah Indonesia? Sejarah adakah kata kuncinya. Awang Damit disebut-sebut keturunan Dayak Lundayeh yang telah sukses menjadi pengusaha dan menjadi warga negara tetangga.
Keterisoliran wilayah di mana sukunya berasal membuatnya sedih. Sebanyak 20 unit alat berat pernah didatangkannya ke Krayan untuk membuka jalan tembus dari Krayan Induk ke perbatasan Malaysia. Untuk pekerjaan itu, ia tidak menarik uang sepeserpun. Halangan dari Tentara Diraja Malaysia (TDM) tak membuatnya menyerah mengirim bantuan alat berat.
“Awang Damit-lah yang pertama kali membuka keterisoliran Krayan Induk ke perbatasan Malaysia. Ia tidak pernah meminta uang atau meminta ganti rugi dengan sumber daya alam untuk membuka jalan. Itu tulus dilakukannya karena ia berasal dari sini,” ucap Kepala Adat Krayan Darat, Yagung Bangau.
Kepedulian tanpa pamrih yang ditunjukkan Awang Damit ini jelas membuat anggota DPD RI asal Kaltim, Bambang Susilo dan Luther Kombong, ketua Pansus Perbatasan DPD RI Ferry Tinggogoy, serta Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Terpencil (BPKP2DT) Kaltim, Adri Patton tercengang.
Bagaimana tidak, sebab pemimpin daerah ini, baik eksekutif maupun legislatif, tidak bisa menjaga amanat yang diberikan warga Krayan dicoblos pada pemilu lalu. Dana pembangunan di perbatasan yang sudah sepatutnya dikawal, justru disebut-sebut menghilang dari APBD Kaltim 2011.
“Pemprov Kaltim saat ini tengah mengupayakan peningkatan landasan Bandara Yuvai Semaring di samping tiga bandara lainnya,” sergah Adri Patton.
Begitu pula Bambang Susilo dan Luther Kombong yang sama-sama menyampaikan jika pemerintah pusat sudah memberikan bantuan Rp 100 miliar untuk pembuatan jalan tembus dengan konstruksi beton sepanjang 60 kilometer dari Malinau hingga Peking. Padahal untuk mencapai Long Midang, ibukota Kecamatan Krayan Induk, masih ada sekitar 80 kilometer lagi.
Tapi apakah pembangunan jalan beton dan peningkatan Bandara Yuvai Semaring yang baru dilaksanakan tahun 2011 ini pantas untuk menggantikan 64 tahun sejak bangsa ini merdeka dan Krayan Induk sudah bergabung di dalamnya.
Wajar jika Mes Kanter (35), warga Krayan mengatakan sudah bosan dan muak dengan janji yang diucapkan pejabat di negeri ini. Sebab peninjauan yang dilakukan tidak pernah berbuah pembangunan. Warga Krayan hanya dijadikan subjek pemanafaatan kelompok tertentu.
Kini warga Krayan memberi batas waktu selama 5 tahun ke depan. Jika permintaan yang telah puluhan tahun mereka sampaikan tak kunjung dipenuhi, mereka akan jadi warga Malaysia. Apakah negara ini akan rela melepaskan tanah dan warganya ke negara tetangga?

“Jika lima tahun lagi tidak ada geliat pembangunan. Maka relakanlah kami bergabung dengan negara tetangga,” tandas Yagung Bangau. (***)