|
Pa' Kebuan, Krayan |
(1) Harga Kebutuhan Pokok
Bergantung Cuaca
Sudah banyak cerita sedih diumbar
warga Kecamatan Krayan Induk, Kabupaten Nunukan, sejak bangsa ini merdeka tahun
1945. Sudah banyak pejabat kabupaten, provinsi, hingga pusat silih berganti berkunjung. Namun pembangunan
tidak juga dilakukan. Kalaupun ada, terkesan seadanya.
Di Kaltim terdapat 3 kabupaten
yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Ketiganya adalah Malinau, Nunukan,
dan Kutai Barat atau disingkat Manukubar. Dari ketiganya, terdapat 15 kecamatan
yang langsung berbatasan dengan Malaysia.
Ironisnya, dari ke-15 kecamatan
itu, terdapat beberapa kecamatan yang benar-benar tertinggal dan terisolir. Di
antaranya adalah Krayan Induk dan Krayan Selatan, dua wilayah yang masuk
Kabupaten Nunukan.
Lebih ironis lagi, kedua daerah
itu benar-benar masih bergantung pada negara tetangga kita untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Pasalnya, di daerah ini belum ada jalan darat dan hanya
bisa ditempuh melalui transportasi udara.
Untuk datang ke kedua wilayah
ini, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Rp 700 ribu untuk sekali penerbangan
tanpa subsidi. Jika disubsidi, biaya yang dikeluarkan menjadi Rp 230 ribu dari
Tarakan dan Rp 280 ribu dari Nunukan.
Maskapai penerbangan yang
melayani rute ini, yakni Susi Air. Ada juga MAF (Mission Aviation Fellowship)
yang sesekali melakukan penerbangan dengan misi keagamaannya. Ada pula Sabang
Merauke Air Charter (SMAC) yang kini sudah tidak beroperasi sejak terjatuhnya
pesawat ini di hutan Kampe Gunung Kijang, Kepulauaan Riau.
Sehingga, maskapai yang rutin
mendatangi wilayah ini hanya Susi Air yang rata-rata dikemudikan warga negara
asing (WNA) setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Ribuan warga Krayan
benar-benar bergantung keahlian sang pilot. Sebab, penerbangan ke Krayan sangat
bergantung pada cuaca yang nyaris tak menentu. Jika berkabut, penerbangan akan
dibatalkan.
Akibat belum tembusnya jalan
darat ini, maka hampir 90 persen kebutuhan hidup ribuan warga Krayan diambil
dari Malaysia. Itupun tergantung kebaikan para penjaga perbatasan negara yang
mengaku saudara serumpun ini.
“Kalau yang jaga perbatasan
tentara dari Semenanjung, maka warga harus siap-siap membatasi barang bawaan.
Seperti kejadian beberapa waktu lalu, setiap orang hanya dibatasi membawa 1
kilo gula,” tutur Kepala Adat Krayan Darat, Yagung Bangau.
Perjalanan dari Krayan menuju
perbatasan juga tidak mudah. Jarak 15 kilometer harus mereka tempuh untuk
mencapai garis perbatasan dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda
empat. Jika hujan, mereka berjalan kaki.
Jauhnya jarak yang harus ditempuh
dengan kondisi jalan tanah dan cuaca yang tak menentu, membuat harga barang
kebutuhan pokok mengalami kenaikan hingga beberapa kali lipat dari harga awal.
Seperti harga minyak tanah yang mencapai Rp 22 ribu per liter, premium dijual
Rp 40 ribu per liter, daging ayam dijual Rp 65 ribu per kilogram. Harga semen
pun bisa mencapai Rp 600 ribu per sak. Semua harga itu adalah harga jika jalan
dapat ditempuh dengan kendaraan. Jika hujan, maka harga akan merangkak naik
lagi.
Bisa dibayangkan betapa berat
beban hidup yang harus ditanggung warga Krayan. Apalagi ribuan warga hanya
mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian mereka. Selain garam gunung
yang mereka hasilkan. Tapi sebanyak-banyaknya hasil yang diperoleh, tetap saja
masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Seorang warga Krayan, Mes Kanter
(35), yang berprofesi sebagai sopir, kepada media ini mengatakan, warga Krayan
sudah bosan dan muak dengan kunjungan para pejabat, karena tak berdampak pada kehidupan mereka.
“Seakan-akan kami ini hanya
subyek untuk dikunjungi. Kalau pemerintah benar-benar peduli, seharusnya jalan
tembus ke Malinau sudah jadi sejak dulu. Tapi sampai sekarang, kami tetap saja
beli barang kebutuhan pokok ke Malaysia,” tegas pria yang memiliki mobil jenis
Hiline dan bernomor polisi Malaysia ini. (***)
(2) “Setiap Pejabat Datang,
Selalu Bertanya hingga Mulut Berbusa”
Keterisoliran Kecamatan Krayan
Induk di Kabupaten Nunukan disebabkan belum adanya jalan darat. Diyakini, jika
jalan darat ini sudah ada, maka keterisoliran – yang berimbas kepada
kemiskinan, serta mahalnya harga kebutuhan pokok dapat teratasi. Tapi sampai
kapan warga harus menunggu?
Data yang dimiliki media ini,
pada tahun 2011, melalui pendanaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional
(APBN), akan dibangun jalan tembus dari Malinau ke Krayan Induk. Dananya
mencapai Rp 100 miliar.
Dana itu akan digunakan untuk
membangun jalan sepanjang 60 kilometer dari Malinau menuju Peking. Padahal
untuk mencapai Krayan Induk, masih ada sekitar 80 kilometer lagi. Jalur ini
dipilih karena lebih dekat dengan Long Midang, ibukota Krayan Induk jika
dibandingkan menuju Nunukan yang menjadi kabupaten dari Krayan Induk.
Ironis memang, ketika pemerintah
pusat sudah mengucurkan dana ratusan miliar, ternyata Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Kaltim malah kurang mendukung. Bahkan sempat jadi polemik soal dugaan
hilangnya anggaran perbatasan dari APBD Kaltim. Setali tiga uang, APBD Nunukan
juga kurang mendukung pembangunan di kawasan yang identik dengan keterisoliran
dan kemiskinan ini.
“Sebenarnya ada jalan tembus yang
merupakan jalan perusahaan. Tapi warga menyetop perusahaan, sebab pembuatan
jalan itu mengorbankan hutan. Perusahaan mengambil kayu dari setiap jalan yang
dilalui,” terang Damus Singa, anggota Komisi III DPRD Nunukan yang terpilih
dari daerah pemilihan (dapil) Krayan Induk.
Benar saja, warga Krayan yang
ditemui media ini mengaku tidak setuju jika pembangunan jalan tembus dengan
mengorbankan hutan. Sebab dari areal Hutan Lindung Kayan Mentarang itulah
mereka dapat bertahan hidup.
Serba salah memang, tapi fakta
inilah yang terjadi. Pemerintah daerah justru yang terlihat ngotot membangun
jalan tembus ke Krayan bekerja sama dengan pihak ketiga dengan iming-iming
sumber daya alam (SDA) hutan yang melimpah.
“Jika pemerintah benar-benar
peduli, bisa saja jalan tembus dibangun dengan menggunakan anggaran daerah dan
pusat. Tapi hanya pusat saja yang mengucurkan dana, kabupaten dan provinsi tak
pernah peduli,” tutur Yagung Bangau, kepala Adat Krayan Darat.
Apakah membangun jalan di Hutan
Lindung Kayan Mentarang diperbolehkan? Kementerian Kehutanan (Kemenhut) melalui
Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan, Bambang Soepijanto mengatakan,
pemerintah pusat sangat mendukung program pembangunan dan akan memberikan izin
atau rekomendasi pembangunan jalan yang memasuki kawasan Hutan Lindung dengan
status pinjam pakai.
“Pembangunan jalan melalui hutan
lindung masih diperbolehkan selama bertujuan untuk meningkatkan perekonomian
masyarakat. Asal dalam pembangunan tidak merusak alam dan pemerintah daerah
menjamin tidak terjadi eksploitasi sumber daya alam. Jadi itu bukan kendala,”
tuturnya.
Hanya saja, informasi yang
dikumpulkan media ini, samapi sekarang, Pemprov Kaltim maupun Pemkab Nunukan
belum pernah mengusulkan trase jalan tembus dari Malinau menuju Krayan Induk
yang melalui Hutan Lindung Kayan Mentarang.
Apalagi tidak ada kepastian,
apakah trase jalan tembus itu telah masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi (RTRWP) Kaltim yang kini sedang digodok. Jika tidak, jelas ini akan
mengganggu pembangunan jalan tembus Malinau-Krayan Induk.
“Krayan adalah daerah segitiga
emas, karena menjadi perbatasan antara Indonesia, Sabah, dan Serawak. Karena
itu, usulan trase jalan melalui hutan lindung harus segera dilakukan Pemkab Nunukan
atau Pemprov Kaltim,” ucap anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal
Kaltim, Bambang Susilo.
Pembangunan jalan tembus
Malinau-Krayan saat ini adalah sebuah keharusan. Sebab masyarakat Krayan saat
ini tengah dihadapkan pada dilema, yakni tetap bertahan sebagai warga Negara
Indonesia atau beralih menjadi warga negara Malaysia, negara yang menjadi
tempat menggantungkan 90 persen kebutuhan hidup mereka.
Jika pemerintah benar-benar
peduli, maka tidak boleh lagi membenturkan masyarakat dengan berbicara rasa
patriotisme. Sebab yang terpenting bagi sekitar 16.000 warga Krayan adalah
menghidupi orang-orang yang berada di Krayan.
Menurut Pendeta Matsuel, warga
Krayan, ada tiga tindakan untuk menghapus “dosa-dosa” pemkab, pemprov, dan
pemerintah pusat, yakni melakukan keinginan masyarakat Krayan melalui tiga hal,
seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan infrastruktur, dan memberi
layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai.
“Masyarakat Krayan saat ini
memerlukan bukti nyata, bukan sekadar janji. Setiap pejabat daerah maupun pusat
datang, saya selalu berdiri dan bertanya hingga mulut berbusa, tapi bukti
pembangunan tidak pernah ada,” tutur Matsuel. (***)
(3) Puluhan Miliar untuk
Pembangkit Listrik Terbengkalai
Sudah menjadi kewajiban
pemerintah untuk menyediakan fasilitas dasar yang menjadi kebutuhan dasar
masyarakat, seperti listrik, air, dan jalan. Tetapi pembangunan yang diberikan
terkesan hanya mengejar proyek bagi kepentingan pengusaha. Soal dipakai atau
tidak, bukan urusan.
MELIHAT kehidupan keseharian
16.000 warga Krayan, dapat dikatakan sangat jauh dari kata layak. Bagaimana
tidak, fasilitas jalan di dalam ibu kota kecamatan masih dalam keadaan rusak
parah, apalagi yang menuju kota terdekat atau perbatasan. Belum lagi berbicara
masalah listrik yang dapat dikatakan pas-pasan.
Untungnya ketersediaan air bagi
warga dapat terpenuhi karena melimpahnya sumber daya air dari pegunungan di
sekeliling Krayan Induk. Tak perlu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
mengolahnya, sebab air yang tersedia sudah dapat dikatakan layak diminum. Lebih
jernih dari air yang diolah PDAM di Samarinda, Balikpapan, atau kota besar
lainnya.
Lelah memikirkan jalan tembus
Malinau-Krayan yang tak jelas terealisasi, karena dananya yang belum jelas.
Masyarakat Krayan justru dihadapkan pada proyek pemerintah, baik pusat,
provinsi, maupun kabupaten yang justru tak mendukung kebutuhan warga atau malah
terbengkalai.
Salah satu proyek yang disoal
masyarakat, yakni, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di daerah Pare Mayo 2.
Pembangkit listrik yang dibangun pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) senilai Rp 6,5 miliar dan dikerjakan sejak tahun 2009.
Pembangkit listrik yang dibangun
dengan kemampuan produksi 250 kilo volt amphere (KVA) itu hingga kini tak
kunjung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Malah pengerjaan terkesan
seadanya dan malah terbengkalai.
“Kami sudah kejar penyelesaian
pembangunannya. Tetapi masalahnya ada di kontraktornya yang tak kunjung
menyelesaikan. Padahal semua bahan sudah siap dan tinggal dirangkai saja,”
tutur Sekretaris Camat Krayan Induk, Mafri Kornelius.
Informasi yang diperoleh Mafri
mengenai pembangunan pembangkit listrik itu, kendala penyelesaian pembangkit
listrik itu terletak pada pemasangan dinamo dan turbin yang tak kunjung
dilakukan. Parahnya, kontraktor seakan tak bertanggung jawab dengan proyek itu.
Tak hanya itu, bendungan yang
dibangun sebagai sumber energi PLTA juga telah jebol. Itu terjadi karena
ketebalan dinding bendungan yang tak mampu menahan tekanan air. Apalagi
bendungan dibangun tanpa menggunakan besi untuk memperkokoh bendungan.
Nasib proyek dari pemerintah
pusat ini ternyata tak berbeda jauh dengan proyek Pemprov Kaltim. Ada dua
proyek yang diketahui masyarakat yang bersumber dari APBD Kaltim, yakni
peningkatan Bandara Yuvai Semarin dan pembanguan jalan trans Kalimantan, yakni,
dari perbatasan menuju Binuag sepanjang 20 kilometer.
Setelah melihat langsung Bandara
Yuvai Semarin, kondisinya tak berbeda jauh dengan kondisi sebelum-sebelumnya,
yakni, memiliki panjang landasan 1.200 meter. Meski cukup untuk mendarat
pesawat Hercules, tetapi dasar landasan yang tak kokoh membuat bandara itu
hanya mampu didarati pesawat jenis Karavan milik Susi Air.
“Kalau landasan kuat, maka
Hercules bisa mendarat. Itu sangat penting, sebab pesawat jenis itu mampu membawa
kargo lebih banyak dibandingkan pesawat jenis Karavan. Otomatis harga kebutuhan
pokok bisa lebih murah,” tutur Yagung Bangau, kepala Adat Krayan Darat.
Tak berbeda jauh, jalan darat
dari perbatasan hingga Binuag kondisinya masih saja berupa tanah pengerasan.
Hanya saja, jalan itu sudah kembali rusak, karena kondisi cuasa yang cukup
ekstrem. Ditambah beban dan intensitas kendaraan yang melintas cukup intens.
“Pemprov Kaltim tahun ini telah
memasukkan peningkatan Bandara Yuvai Semarin sebagai prioritas. Ada sekitar Rp
135 miliar dana yang akan disiapkan,” terang Kepala Badan Pengelola Kawasan
Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Terpencil (BPKP2DT) Kaltim, Adri Patton.
Begitupula dengan proyek Pemkab
Nunukan, sebuah proyek pembangunan bendungan sebagai irigasi lahan pertanian
yang telah selesai dikerjakan, hingga kini tak dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat.
Permasalahannya, yakni, terletak
pada penempatan lokasi bendungan. Berdasarkan topografi Kecamatan Krayan Induk,
bendungan berada di bagian bawah lokasi sawah. Sehingga air dari bendungan
tidak dapat mencapai persawahan masyarakat.
Ini hanyalah sebagian kecil dari
proyek pemerintah yang telah dikerjakan di Krayan. Warga Krayan Induk
sebenarnya bingung dengan kebijakan pemerintah, sebab proyek yang dikerjakan
banyak yang tak sesuai dengan kebutuhan mendasar masyarakat. (***)
(4) Mempertahankan Negara dengan
Pulsa Pribadi
TAK ada kata pantang menyerah di
dalam diri 70 personel TNI yang menjaga 3 pos pengamanan perbatasan (pamtas) di
Krayan, yakni, di Long Bawan, Long Midang, dan Lembudud. Mereka harus
mempertahankan batas negara selama setahun, sebelum diganti rekan seprofesi.
MESKI pos pamtas yang mereka
tempati terkesan seadanya dan tanpa fasilitas maksimal untuk menjaga
perbatasan, tapi prajurit Indonesia yang dikenal dengan keberaniannya itu tetap
tak mengeluh.
Sangat mencolok memang dengan
fasilitas pos penjagaan yang dimiliki Tentara Diraja Malaysia (TDM). Dengan
fasilitas seadanya, sangat wajar jika beberapa tentara Malaysia kerap
semena-mena dengan warga Krayan. Tapi itu harus dijalani, sebab warga memang
menggantungkan hidup mereka di sana. Selain untuk membeli kebutuhan pokok,
warga juga harus ke sana untuk menjual hasil alam yang mereka olah, seperti
padi, garam gunung, dan hasil hutan non kayu.
Sedikit menengok pos pamtas milik
TNI, tidak ada satupun telepon satelit yang tersedia. Komunikasi hanya
dilakukan dengan menggunakan handy talky (HT) yang maksimal hanya mampu
menjangkau Nunukan.
Bahkan tak jarang informasi
penting mengenai perbatasan harus diinformasikan dengan menggunakan handphone
milik anggota TNI.
“Tapi kadang-kadang sinyalnya
hilang. Jadi kami harus tahu daerah yang cukup baik sinyalnya untuk mengirim
informasi. Pulsanya, ya, pakai pulsa sendiri,” tutur Danramil Krayan, Letda Yulga
Mahendi.
Tak berbeda jauh dengan pos
pamtas, Koramil di Krayan Induk malah lebih menyedihkan nasibnya. Warga krayan
yang berjumlah 16 ribu, hanya diberi 9 personel TNI yang bertindak sebagai
Babinsa. Itu masih mending, di Krayan Selatan, jumlah Babinsa hanya ada 2
orang.
Kesan seadanya memang tak bisa
dipisahkan dari pengamanan perbatasan. Kalah dari segi fasilitas, tak membuat
akal luntur untuk menjaga tapal batas.
“Terkadang ada waktu tertentu
kami mengundang tentara Malaysia ke sini (Krayan, Red.) atau kami yang ke sana
(Malaysia, Red.) untuk mengajak latih tanding voli. Selain menjaga rasa
persaudaraan, itu juga sebagai sarana agar warga Krayan yang melintas tak
dipersulit,” ucap Yulga.
Wajar jika Yulga memilih cara
pendekatan seperti itu. Sebab, jika terjadi konflik, jelas sekali perbatasan
kita kalah dalam segala hal, terutama persenjataan. Cara ini ternyata efektif
tak hanya untuk menjaga kedaulatan perbatasan RI di Krayan, tetapi juga
memudahkan warga untuk memenuhi kebutuhan hidup yang 90 persen berasal dari
Malaysia.
Persoalan keamanan di perbatasan
darat memang selalu dikeluhkan. Hal itu sangat wajar, sebab panjang perbatasan
Kalimantan-Malaysia dari Kaltim hingga Kalbar mencapai 2.004 kilometer.
Sepanjang perbatasan itu hanya
dijaga 41 pos pamtas, meski akan dibangun 13 pos pamtas lagi. Tapi hal itu
jelas masih jauh dari kata cukup untuk menjaga perbatasan. Apalagi, hingga
kini, masih ada sekitar 10 titik perbatasan yang belum dapat diselesaikan antara
Indonesia dan Malaysia. Sepuluh titik tersebut bisa menciptakan konflik yang
sedemikian luas.
Sanggupkah penjaga di pos pamtas
sebagai garda terdepan untuk menjaga wajah Indonesia? Jawabannya tentu sangat
bergantung kesiapan personel TNI didukung persenjataan dan fasilitas penunjang
yang harus segera diberikan. (***)
(5) Hanya Kata Maaf dan Terima
Kasih untuk Guru
UMAR Bakri, Umar Bakri, pegawai
negeri. Umar Bakri, Umar Bakri, empat puluh tahun mengabdi. Jadi guru jujur
berbakti memang makan hati. Umar Bakri, Umar Bakri. Banyak ciptakan menteri.
Umar Bakri, profesor dokter insinyur pun jadi. Bikin otak orang seperti otak
Habibie. Tapi mengapa gaji guru Umar Bakri seperti dikebiri.
Itulah salah satu syair karya
Iwan Fals yang menggambarkan betapa susah dan sedihnya seorang guru di negara
yang katanya kaya raya ini, termasuk di Kaltim. Syair yang sangat tepat
menggambarkan kondisi guru di kawasan perbatasan Krayan Induk, Kabupaten
Nunukan.
Ketika para guru berstatus PNS
itu rela dikirim ke ujung negeri Indonesia, di sebuah daerah terisolir bernama
Krayan, sebanyak 354 guru tetap bersedia memberi ilmu kepada warga yang
mayoritas bersuku Dayak Lundayeh.
Sayangnya, pepatah lama yang
menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, benar-benar berlaku bagi para
pendidik ini. Tak hanya diberi fasilitas seadanya, bahkan gaji, dana
sertifikasi, insentif, hingga tunjangan perbatasan juga terkadang datang
terlambat.
Hingga media ini mendatangi
Krayan akhir Maret lalu, para guru tetap belum menerima hak mereka.
“Ratusan guru bahkan berencana
turun (berangkat, Red.) ke Nunukan. Rencananya mau demo dan mendatangi Dinas
Pendidikan untuk mempertanyakan dana sertifikasi dan tunjangan perbatasan,”
ungkap Gukang, salah seorang guru senior di Krayan Induk yang telah mengabdi
selama 25 tahun.
Tak hanya itu, banyak juga guru
yang telah mengabdi selama 5 hingga 10 tahun yang belum
masuk dalam daftar penerima
tunjangan perbatasan maupun dana sertifikasi.
Ini menunjukkan guru seperti
Gukang dan 353 guru lainnya di Krayan masih saja menjadi objek oknum tak
bertanggung jawab untuk memperkaya diri sendiri. Dugaan korupsi muncul akhir
Desember lalu, ketika Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melakukan
klarifikasi ke Bendahara Umum Pemkab Nunukan dan BPD Nunukan.
Dana sertifikasi guru sebesar Rp
1,3 miliar telah cair sejak 31 Desember 2010. Itu dibuktikan dengan rekening
koran yang menunjukkan saldo Dinas Pendidikan Nunukan hanya tersisa Rp 558,17
juta. Belum lagi bukti surat perintah membayar No 0650/SPM.LS/DISDIK/2010
tertanggal 22 Desember 2010 berisi surat perintah pencairan dana (SP2D) yang
ditandatangani Bendahara Umum pada 28 Desember 2010. Dana tunjangan profesi
guru ini telah dicairkan ke nomor rekening Disdik Nunukan nomor 009 140 5512.
Campur tangan penegak hukum
sangat ditunggu untuk membuktikan kebenaran di balik dugaan yang secara tak
langsung merugikan nasib ke-354 guru di Krayan Induk.
Saat ini di Krayan Induk terdapat
5 taman kanak kanak (TK), 27 sekolah dasar (SD), 7 sekolah menegah pertama
(SMP), 4 sekolah menengah atas (SMA), 1 sekolah menegah kejuruan (SMK), dan 1
perguruan tinggi.
Terlihat sudah cukup banyak, tapi
fakta di lapangan berkata lain. Semua sekolah tidak memiliki fasilitas
perpustakaan yang menjadi laman bacaan bagi peserta didik untuk menambah ilmu dan
membuka cakrawala keilmuan.
Para pejabat sering berucap
terima kasih kepada guru. Tapi, jika soal fasilitas pendidikan dipertanyakan,
hanya kata maaf yang tertutur untuk guru.
Kepala Kantor Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah, Yunus Ngai, tak
membantah keterbatasan fasilitas yang diberikan pemerintah bagi peserta didik.
Sebagai ujung tombak kemajuan pendidikan di Kecamatan Krayan Induk, Yunus
mengaku tidak bisa berbuat banyak.
“Kebijakan ada di Pemkab,
Pemprov, dan Pemerintah Pusat. Kami di sini hanya pelaksana. Tidak bisa berbuat
lebih. Ketika fasilitas diberi seadanya, ya, itulah yang harus kami
manfaatkan,” terang pria yang mengaku jatuh cinta dengan Kecamatan Krayan ini.
Jika anda ingin merasakan sekolah
ala Kecamatan Krayan, maka jangan
berharap bisa menemukan komputer, listrik yang memadai, apalagi buku
bacaan yang lengkap. (***)
(6) Jalur Alternatif, Murah Tapi
Ada Batas Waktu
Terisolir. Begitulah gambaran
kondisi geografis Kecamatan Krayan Induk, Kabupaten Nunukan. Sebenarnya ada
jalur alternatif yang dapat ditempuh. Tapi jalur itu sangat panjang dan jauh.
Juga, ada batas waktunya.
Jika anda ingin menuju Krayan
Induk saat ini, maka jalur udara adalah satu-satunya jalur yang dapat dilakoni.
Itu jika ditempuh dari Indonesia. Sebenarnya Krayan juga dapat ditempuh dengan
jalur darat, tapi harus lewat Malaysia.
Jalur yang ditempuh juga tidak
main-main, ada beberapa kali persinggahan yang dilakukan. Total waktu tempuh,
minimal 24 jam, itu kalau jalan baik. Jika memasuki musim hujan, akan lebih
lama lagi waktunya sampai ke Krayan.
Lelah, sepertinya menjadi kata
tepat untuk menggambarkan situasi tersebut. Hanya saja, jika memanfaatkan jalur
itu, maka warga Indonesia diberi batasan waktu berkunjung ketika tiba di Tawau.
Meski tujuan akhir adalah Krayan, tapi ketiadaan kantor imigrasi di perbatasan
Krayan, membuat warga harus kembali ke Nunukan ketika batas waktu telah habis.
Informasi yang dikumpulkan media
ini dari beberapa warga yang pernah merasakan jalur alternatif itu, yakni,
bermula dari Nunukan menuju Tawau. Jalur air ini dapat ditempuh dengan
menggunakan speedboat selama 40 menit.
Setiba di Tawau, warga langsung
melanjutkan perjalanan ke Kota Kinabalu dengan menggunakan mobil angkutan.
Tarifnya sekarang berkisar 70 ringgit, jika di kurs-kan ke rupiah sekitar Rp
200 ribuan dengan waktu tempuh sekitar 11 jam.
Dari Kota Kinabalu, warga langsung
menuju terminal bis menuju Lawas salama 4 jam dengan tarif 30 ringgit atau Rp
90.000. Sampai sini, warga masih disuguhkan jalan mulus dan bisa menikmati
pemandangan. Tapi Lawas masih jauh dari Krayan.
Selanjutnya, dari Lawas warga
menuju Bakelalan, sebuah distrik yang dekat dan berbatasan langsung dengan
Indonesia. Jaraknya sekitar 147 kilometer. Jalur ini melintasi hutan belantara
dengan mobil double gardan. Kondisi jalannya berupa tanah. Jika beruntung
mendapat cuaca baik, maka waktu tempuh antara 5 hingga 6 jam saja. Tapi jika
jalanan berlumpur, maka waktu tempuh bisa satu hari satu malam.
Tarif yang harus dibayar untuk
perjalanan yang mirip adventure ini, sekitar 80 ringgit atau Rp 240 ribuan. Di
sini, warga akan diturunkan di Pasar Bakelalan. Pasar inilah yang umumnya
digunakan warga Krayan untuk memenuhi 90 persen kebutuhan hidup mereka.
Dari sini, warga masih harus
menunggangi sepeda motor. Banyak tukang ojek yang siap mengantar ke perbatasan
Indonesia. Para tukang ojek ini jugalah yang biasanya digunakan warga Krayan
untuk mengangkut barang kebutuhan pokok seperti sembako. Jarak yang harus
ditempuh dari pasar ini ke Long Bawan sekitar 15 kilometer dengan biaya 60
ringgit atau Rp 180 ribuan.
Jika batas waktu yang diberikan
di Tawau telah habis, maka warga harus kembali ke Nunukan dengan menggunakan
jalur yang sama. Jika dihitung-hitung, perlu dana maksimal Rp 1 juta untuk
sampai ke Long Bawan.
“Bagi warga Krayan, jalur ini
bisa jadi jalur alternatif jika tidak ada pesawat yang masuk ke Krayan. Dulu biayanya
lebih murah dibandingkan naik pesawat. Tapi sejak ada pesawat bersubsidi,
biayanya jadi lebih mahal,” terang Kepala Adat Dayak Krayan Darat, Yagung
Bangau.
Bagi pecinta traveling,
perjalanan pulang kampung warga Krayan ini bisa menjadi alternatif pilihan.
Tapi bagi warga Krayan, jalur ini menjadi pilihan kedua. Meski jalur yang
dilalui cukup panjang dan melelahkan, tapi keinginan bertemu keluarga tercinta
mengalahkan rasa lelah, meski ada batas waktu yang ditentukan. (***)
(7-Habis) Antara Awang Faroek dan
Awang Damit
Sudah banyak “dosa-dosa”
pemerintah yang dibeberkan warga Krayan Induk, Kabupaten Nunukan. Tapi
kepedulian Republik Indonesia atau Provinsi Kaltim terhadap warga di sini tak
juga kunjung diberikan secara optimal. Justru warga negara asing yang peduli
dengan wilayah ini.
Bertanyalah kepada warga Krayan,
kenalkah mereka dengan Awang Faroek Ishak? Ternyata, sebagian besar mengatakan
tidak kenal. Tapi bertanyalah siapakah Awang Damit, maka masyarakat akan memuji
pria tersebut.
Meski sama-sama bernama depan
Awang, tetapi keduanya jelas berbeda. Satunya adalah Gubernur Kaltim, pemimpin
tertinggi di Bumi Etam. Sementara Awang satunya, adalah warga negara Brunei
Darussalam. Sosok pengusaha yang banyak membantu Krayan Induk.
Mengapa pria yang menjadi
pengusaha sukses ini mau membantu Krayan yang berada di wilayah Indonesia?
Sejarah adakah kata kuncinya. Awang Damit disebut-sebut keturunan Dayak
Lundayeh yang telah sukses menjadi pengusaha dan menjadi warga negara tetangga.
Keterisoliran wilayah di mana
sukunya berasal membuatnya sedih. Sebanyak 20 unit alat berat pernah
didatangkannya ke Krayan untuk membuka jalan tembus dari Krayan Induk ke
perbatasan Malaysia. Untuk pekerjaan itu, ia tidak menarik uang sepeserpun.
Halangan dari Tentara Diraja Malaysia (TDM) tak membuatnya menyerah mengirim
bantuan alat berat.
“Awang Damit-lah yang pertama
kali membuka keterisoliran Krayan Induk ke perbatasan Malaysia. Ia tidak pernah
meminta uang atau meminta ganti rugi dengan sumber daya alam untuk membuka jalan.
Itu tulus dilakukannya karena ia berasal dari sini,” ucap Kepala Adat Krayan
Darat, Yagung Bangau.
Kepedulian tanpa pamrih yang
ditunjukkan Awang Damit ini jelas membuat anggota DPD RI asal Kaltim, Bambang
Susilo dan Luther Kombong, ketua Pansus Perbatasan DPD RI Ferry Tinggogoy,
serta Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah
Terpencil (BPKP2DT) Kaltim, Adri Patton tercengang.
Bagaimana tidak, sebab pemimpin
daerah ini, baik eksekutif maupun legislatif, tidak bisa menjaga amanat yang
diberikan warga Krayan dicoblos pada pemilu lalu. Dana pembangunan di
perbatasan yang sudah sepatutnya dikawal, justru disebut-sebut menghilang dari
APBD Kaltim 2011.
“Pemprov Kaltim saat ini tengah
mengupayakan peningkatan landasan Bandara Yuvai Semaring di samping tiga
bandara lainnya,” sergah Adri Patton.
Begitu pula Bambang Susilo dan
Luther Kombong yang sama-sama menyampaikan jika pemerintah pusat sudah
memberikan bantuan Rp 100 miliar untuk pembuatan jalan tembus dengan konstruksi
beton sepanjang 60 kilometer dari Malinau hingga Peking. Padahal untuk mencapai
Long Midang, ibukota Kecamatan Krayan Induk, masih ada sekitar 80 kilometer
lagi.
Tapi apakah pembangunan jalan
beton dan peningkatan Bandara Yuvai Semaring yang baru dilaksanakan tahun 2011
ini pantas untuk menggantikan 64 tahun sejak bangsa ini merdeka dan Krayan
Induk sudah bergabung di dalamnya.
Wajar jika Mes Kanter (35), warga
Krayan mengatakan sudah bosan dan muak dengan janji yang diucapkan pejabat di
negeri ini. Sebab peninjauan yang dilakukan tidak pernah berbuah pembangunan.
Warga Krayan hanya dijadikan subjek pemanafaatan kelompok tertentu.
Kini warga Krayan memberi batas
waktu selama 5 tahun ke depan. Jika permintaan yang telah puluhan tahun mereka
sampaikan tak kunjung dipenuhi, mereka akan jadi warga Malaysia. Apakah negara
ini akan rela melepaskan tanah dan warganya ke negara tetangga?
“Jika lima tahun lagi tidak ada
geliat pembangunan. Maka relakanlah kami bergabung dengan negara tetangga,”
tandas Yagung Bangau. (***)