Rabu, 26 Juni 2013

“Dosa-dosa” Pemerintah terhadap Warga Krayan, Nunukan

Pa' Kebuan, Krayan

(1) Harga Kebutuhan Pokok Bergantung Cuaca

Sudah banyak cerita sedih diumbar warga Kecamatan Krayan Induk, Kabupaten Nunukan, sejak bangsa ini merdeka tahun 1945. Sudah banyak pejabat kabupaten, provinsi, hingga pusat  silih berganti berkunjung. Namun pembangunan tidak juga dilakukan. Kalaupun ada, terkesan seadanya.
Di Kaltim terdapat 3 kabupaten yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Ketiganya adalah Malinau, Nunukan, dan Kutai Barat atau disingkat Manukubar. Dari ketiganya, terdapat 15 kecamatan yang langsung berbatasan dengan Malaysia.
Ironisnya, dari ke-15 kecamatan itu, terdapat beberapa kecamatan yang benar-benar tertinggal dan terisolir. Di antaranya adalah Krayan Induk dan Krayan Selatan, dua wilayah yang masuk Kabupaten Nunukan.
Lebih ironis lagi, kedua daerah itu benar-benar masih bergantung pada negara tetangga kita untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pasalnya, di daerah ini belum ada jalan darat dan hanya bisa ditempuh melalui transportasi udara.
Untuk datang ke kedua wilayah ini, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Rp 700 ribu untuk sekali penerbangan tanpa subsidi. Jika disubsidi, biaya yang dikeluarkan menjadi Rp 230 ribu dari Tarakan dan Rp 280 ribu dari Nunukan.
Maskapai penerbangan yang melayani rute ini, yakni Susi Air. Ada juga MAF (Mission Aviation Fellowship) yang sesekali melakukan penerbangan dengan misi keagamaannya. Ada pula Sabang Merauke Air Charter (SMAC) yang kini sudah tidak beroperasi sejak terjatuhnya pesawat ini di hutan Kampe Gunung Kijang, Kepulauaan Riau.
Sehingga, maskapai yang rutin mendatangi wilayah ini hanya Susi Air yang rata-rata dikemudikan warga negara asing (WNA) setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Ribuan warga Krayan benar-benar bergantung keahlian sang pilot. Sebab, penerbangan ke Krayan sangat bergantung pada cuaca yang nyaris tak menentu. Jika berkabut, penerbangan akan dibatalkan.
Akibat belum tembusnya jalan darat ini, maka hampir 90 persen kebutuhan hidup ribuan warga Krayan diambil dari Malaysia. Itupun tergantung kebaikan para penjaga perbatasan negara yang mengaku saudara serumpun ini.
“Kalau yang jaga perbatasan tentara dari Semenanjung, maka warga harus siap-siap membatasi barang bawaan. Seperti kejadian beberapa waktu lalu, setiap orang hanya dibatasi membawa 1 kilo gula,” tutur Kepala Adat Krayan Darat, Yagung Bangau.
Perjalanan dari Krayan menuju perbatasan juga tidak mudah. Jarak 15 kilometer harus mereka tempuh untuk mencapai garis perbatasan dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Jika hujan, mereka berjalan kaki.
Jauhnya jarak yang harus ditempuh dengan kondisi jalan tanah dan cuaca yang tak menentu, membuat harga barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan hingga beberapa kali lipat dari harga awal. Seperti harga minyak tanah yang mencapai Rp 22 ribu per liter, premium dijual Rp 40 ribu per liter, daging ayam dijual Rp 65 ribu per kilogram. Harga semen pun bisa mencapai Rp 600 ribu per sak. Semua harga itu adalah harga jika jalan dapat ditempuh dengan kendaraan. Jika hujan, maka harga akan merangkak naik lagi.
Bisa dibayangkan betapa berat beban hidup yang harus ditanggung warga Krayan. Apalagi ribuan warga hanya mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian mereka. Selain garam gunung yang mereka hasilkan. Tapi sebanyak-banyaknya hasil yang diperoleh, tetap saja masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Seorang warga Krayan, Mes Kanter (35), yang berprofesi sebagai sopir, kepada media ini mengatakan, warga Krayan sudah bosan dan muak dengan kunjungan para pejabat,  karena tak berdampak pada kehidupan mereka.
“Seakan-akan kami ini hanya subyek untuk dikunjungi. Kalau pemerintah benar-benar peduli, seharusnya jalan tembus ke Malinau sudah jadi sejak dulu. Tapi sampai sekarang, kami tetap saja beli barang kebutuhan pokok ke Malaysia,” tegas pria yang memiliki mobil jenis Hiline dan bernomor polisi Malaysia ini. (***)

(2) “Setiap Pejabat Datang, Selalu Bertanya hingga Mulut Berbusa”

Keterisoliran Kecamatan Krayan Induk di Kabupaten Nunukan disebabkan belum adanya jalan darat. Diyakini, jika jalan darat ini sudah ada, maka keterisoliran – yang berimbas kepada kemiskinan, serta mahalnya harga kebutuhan pokok dapat teratasi. Tapi sampai kapan warga harus menunggu?

Data yang dimiliki media ini, pada tahun 2011, melalui pendanaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN), akan dibangun jalan tembus dari Malinau ke Krayan Induk. Dananya mencapai Rp 100 miliar.
Dana itu akan digunakan untuk membangun jalan sepanjang 60 kilometer dari Malinau menuju Peking. Padahal untuk mencapai Krayan Induk, masih ada sekitar 80 kilometer lagi. Jalur ini dipilih karena lebih dekat dengan Long Midang, ibukota Krayan Induk jika dibandingkan menuju Nunukan yang menjadi kabupaten dari Krayan Induk.
Ironis memang, ketika pemerintah pusat sudah mengucurkan dana ratusan miliar, ternyata Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim malah kurang mendukung. Bahkan sempat jadi polemik soal dugaan hilangnya anggaran perbatasan dari APBD Kaltim. Setali tiga uang, APBD Nunukan juga kurang mendukung pembangunan di kawasan yang identik dengan keterisoliran dan kemiskinan ini.
“Sebenarnya ada jalan tembus yang merupakan jalan perusahaan. Tapi warga menyetop perusahaan, sebab pembuatan jalan itu mengorbankan hutan. Perusahaan mengambil kayu dari setiap jalan yang dilalui,” terang Damus Singa, anggota Komisi III DPRD Nunukan yang terpilih dari daerah pemilihan (dapil) Krayan Induk.
Benar saja, warga Krayan yang ditemui media ini mengaku tidak setuju jika pembangunan jalan tembus dengan mengorbankan hutan. Sebab dari areal Hutan Lindung Kayan Mentarang itulah mereka dapat bertahan hidup.
Serba salah memang, tapi fakta inilah yang terjadi. Pemerintah daerah justru yang terlihat ngotot membangun jalan tembus ke Krayan bekerja sama dengan pihak ketiga dengan iming-iming sumber daya alam (SDA) hutan yang melimpah.
“Jika pemerintah benar-benar peduli, bisa saja jalan tembus dibangun dengan menggunakan anggaran daerah dan pusat. Tapi hanya pusat saja yang mengucurkan dana, kabupaten dan provinsi tak pernah peduli,” tutur Yagung Bangau, kepala Adat Krayan Darat.
Apakah membangun jalan di Hutan Lindung Kayan Mentarang diperbolehkan? Kementerian Kehutanan (Kemenhut) melalui Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan, Bambang Soepijanto mengatakan, pemerintah pusat sangat mendukung program pembangunan dan akan memberikan izin atau rekomendasi pembangunan jalan yang memasuki kawasan Hutan Lindung dengan status pinjam pakai.
“Pembangunan jalan melalui hutan lindung masih diperbolehkan selama bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Asal dalam pembangunan tidak merusak alam dan pemerintah daerah menjamin tidak terjadi eksploitasi sumber daya alam. Jadi itu bukan kendala,” tuturnya.
Hanya saja, informasi yang dikumpulkan media ini, samapi sekarang, Pemprov Kaltim maupun Pemkab Nunukan belum pernah mengusulkan trase jalan tembus dari Malinau menuju Krayan Induk yang melalui Hutan Lindung Kayan Mentarang.
Apalagi tidak ada kepastian, apakah trase jalan tembus itu telah masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kaltim yang kini sedang digodok. Jika tidak, jelas ini akan mengganggu pembangunan jalan tembus Malinau-Krayan Induk.
“Krayan adalah daerah segitiga emas, karena menjadi perbatasan antara Indonesia, Sabah, dan Serawak. Karena itu, usulan trase jalan melalui hutan lindung harus segera dilakukan Pemkab Nunukan atau Pemprov Kaltim,” ucap anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Kaltim, Bambang Susilo.
Pembangunan jalan tembus Malinau-Krayan saat ini adalah sebuah keharusan. Sebab masyarakat Krayan saat ini tengah dihadapkan pada dilema, yakni tetap bertahan sebagai warga Negara Indonesia atau beralih menjadi warga negara Malaysia, negara yang menjadi tempat menggantungkan 90 persen kebutuhan hidup mereka.
Jika pemerintah benar-benar peduli, maka tidak boleh lagi membenturkan masyarakat dengan berbicara rasa patriotisme. Sebab yang terpenting bagi sekitar 16.000 warga Krayan adalah menghidupi orang-orang yang berada di Krayan.
Menurut Pendeta Matsuel, warga Krayan, ada tiga tindakan untuk menghapus “dosa-dosa” pemkab, pemprov, dan pemerintah pusat, yakni melakukan keinginan masyarakat Krayan melalui tiga hal, seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan infrastruktur, dan memberi layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai.
“Masyarakat Krayan saat ini memerlukan bukti nyata, bukan sekadar janji. Setiap pejabat daerah maupun pusat datang, saya selalu berdiri dan bertanya hingga mulut berbusa, tapi bukti pembangunan tidak pernah ada,” tutur Matsuel. (***)

(3) Puluhan Miliar untuk Pembangkit Listrik Terbengkalai

Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan fasilitas dasar yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, seperti listrik, air, dan jalan. Tetapi pembangunan yang diberikan terkesan hanya mengejar proyek bagi kepentingan pengusaha. Soal dipakai atau tidak, bukan urusan.

MELIHAT kehidupan keseharian 16.000 warga Krayan, dapat dikatakan sangat jauh dari kata layak. Bagaimana tidak, fasilitas jalan di dalam ibu kota kecamatan masih dalam keadaan rusak parah, apalagi yang menuju kota terdekat atau perbatasan. Belum lagi berbicara masalah listrik yang dapat dikatakan pas-pasan.
Untungnya ketersediaan air bagi warga dapat terpenuhi karena melimpahnya sumber daya air dari pegunungan di sekeliling Krayan Induk. Tak perlu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) mengolahnya, sebab air yang tersedia sudah dapat dikatakan layak diminum. Lebih jernih dari air yang diolah PDAM di Samarinda, Balikpapan, atau kota besar lainnya.
Lelah memikirkan jalan tembus Malinau-Krayan yang tak jelas terealisasi, karena dananya yang belum jelas. Masyarakat Krayan justru dihadapkan pada proyek pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten yang justru tak mendukung kebutuhan warga atau malah terbengkalai.
Salah satu proyek yang disoal masyarakat, yakni, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di daerah Pare Mayo 2. Pembangkit listrik yang dibangun pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) senilai Rp 6,5 miliar dan dikerjakan sejak tahun 2009.
Pembangkit listrik yang dibangun dengan kemampuan produksi 250 kilo volt amphere (KVA) itu hingga kini tak kunjung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Malah pengerjaan terkesan seadanya dan malah terbengkalai.
“Kami sudah kejar penyelesaian pembangunannya. Tetapi masalahnya ada di kontraktornya yang tak kunjung menyelesaikan. Padahal semua bahan sudah siap dan tinggal dirangkai saja,” tutur Sekretaris Camat Krayan Induk, Mafri Kornelius.
Informasi yang diperoleh Mafri mengenai pembangunan pembangkit listrik itu, kendala penyelesaian pembangkit listrik itu terletak pada pemasangan dinamo dan turbin yang tak kunjung dilakukan. Parahnya, kontraktor seakan tak bertanggung jawab dengan proyek itu.
Tak hanya itu, bendungan yang dibangun sebagai sumber energi PLTA juga telah jebol. Itu terjadi karena ketebalan dinding bendungan yang tak mampu menahan tekanan air. Apalagi bendungan dibangun tanpa menggunakan besi untuk memperkokoh bendungan.
Nasib proyek dari pemerintah pusat ini ternyata tak berbeda jauh dengan proyek Pemprov Kaltim. Ada dua proyek yang diketahui masyarakat yang bersumber dari APBD Kaltim, yakni peningkatan Bandara Yuvai Semarin dan pembanguan jalan trans Kalimantan, yakni, dari perbatasan menuju Binuag sepanjang 20 kilometer.
Setelah melihat langsung Bandara Yuvai Semarin, kondisinya tak berbeda jauh dengan kondisi sebelum-sebelumnya, yakni, memiliki panjang landasan 1.200 meter. Meski cukup untuk mendarat pesawat Hercules, tetapi dasar landasan yang tak kokoh membuat bandara itu hanya mampu didarati pesawat jenis Karavan milik Susi Air.
“Kalau landasan kuat, maka Hercules bisa mendarat. Itu sangat penting, sebab pesawat jenis itu mampu membawa kargo lebih banyak dibandingkan pesawat jenis Karavan. Otomatis harga kebutuhan pokok bisa lebih murah,” tutur Yagung Bangau, kepala Adat Krayan Darat.
Tak berbeda jauh, jalan darat dari perbatasan hingga Binuag kondisinya masih saja berupa tanah pengerasan. Hanya saja, jalan itu sudah kembali rusak, karena kondisi cuasa yang cukup ekstrem. Ditambah beban dan intensitas kendaraan yang melintas cukup intens.
“Pemprov Kaltim tahun ini telah memasukkan peningkatan Bandara Yuvai Semarin sebagai prioritas. Ada sekitar Rp 135 miliar dana yang akan disiapkan,” terang Kepala Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Terpencil (BPKP2DT) Kaltim, Adri Patton.
Begitupula dengan proyek Pemkab Nunukan, sebuah proyek pembangunan bendungan sebagai irigasi lahan pertanian yang telah selesai dikerjakan, hingga kini tak dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Permasalahannya, yakni, terletak pada penempatan lokasi bendungan. Berdasarkan topografi Kecamatan Krayan Induk, bendungan berada di bagian bawah lokasi sawah. Sehingga air dari bendungan tidak dapat mencapai persawahan masyarakat.
Ini hanyalah sebagian kecil dari proyek pemerintah yang telah dikerjakan di Krayan. Warga Krayan Induk sebenarnya bingung dengan kebijakan pemerintah, sebab proyek yang dikerjakan banyak yang tak sesuai dengan kebutuhan mendasar masyarakat. (***)

(4) Mempertahankan Negara dengan Pulsa Pribadi

TAK ada kata pantang menyerah di dalam diri 70 personel TNI yang menjaga 3 pos pengamanan perbatasan (pamtas) di Krayan, yakni, di Long Bawan, Long Midang, dan Lembudud. Mereka harus mempertahankan batas negara selama setahun, sebelum diganti rekan seprofesi.

MESKI pos pamtas yang mereka tempati terkesan seadanya dan tanpa fasilitas maksimal untuk menjaga perbatasan, tapi prajurit Indonesia yang dikenal dengan keberaniannya itu tetap tak mengeluh.
Sangat mencolok memang dengan fasilitas pos penjagaan yang dimiliki Tentara Diraja Malaysia (TDM). Dengan fasilitas seadanya, sangat wajar jika beberapa tentara Malaysia kerap semena-mena dengan warga Krayan. Tapi itu harus dijalani, sebab warga memang menggantungkan hidup mereka di sana. Selain untuk membeli kebutuhan pokok, warga juga harus ke sana untuk menjual hasil alam yang mereka olah, seperti padi, garam gunung, dan hasil hutan non kayu.
Sedikit menengok pos pamtas milik TNI, tidak ada satupun telepon satelit yang tersedia. Komunikasi hanya dilakukan dengan menggunakan handy talky (HT) yang maksimal hanya mampu menjangkau Nunukan.
Bahkan tak jarang informasi penting mengenai perbatasan harus diinformasikan dengan menggunakan handphone milik anggota TNI.
“Tapi kadang-kadang sinyalnya hilang. Jadi kami harus tahu daerah yang cukup baik sinyalnya untuk mengirim informasi. Pulsanya, ya, pakai pulsa sendiri,” tutur Danramil Krayan, Letda Yulga Mahendi.
Tak berbeda jauh dengan pos pamtas, Koramil di Krayan Induk malah lebih menyedihkan nasibnya. Warga krayan yang berjumlah 16 ribu, hanya diberi 9 personel TNI yang bertindak sebagai Babinsa. Itu masih mending, di Krayan Selatan, jumlah Babinsa hanya ada 2 orang.
Kesan seadanya memang tak bisa dipisahkan dari pengamanan perbatasan. Kalah dari segi fasilitas, tak membuat akal luntur untuk menjaga tapal batas.
“Terkadang ada waktu tertentu kami mengundang tentara Malaysia ke sini (Krayan, Red.) atau kami yang ke sana (Malaysia, Red.) untuk mengajak latih tanding voli. Selain menjaga rasa persaudaraan, itu juga sebagai sarana agar warga Krayan yang melintas tak dipersulit,” ucap Yulga.
Wajar jika Yulga memilih cara pendekatan seperti itu. Sebab, jika terjadi konflik, jelas sekali perbatasan kita kalah dalam segala hal, terutama persenjataan. Cara ini ternyata efektif tak hanya untuk menjaga kedaulatan perbatasan RI di Krayan, tetapi juga memudahkan warga untuk memenuhi kebutuhan hidup yang 90 persen berasal dari Malaysia.
Persoalan keamanan di perbatasan darat memang selalu dikeluhkan. Hal itu sangat wajar, sebab panjang perbatasan Kalimantan-Malaysia dari Kaltim hingga Kalbar mencapai 2.004 kilometer.
Sepanjang perbatasan itu hanya dijaga 41 pos pamtas, meski akan dibangun 13 pos pamtas lagi. Tapi hal itu jelas masih jauh dari kata cukup untuk menjaga perbatasan. Apalagi, hingga kini, masih ada sekitar 10 titik perbatasan yang belum dapat diselesaikan antara Indonesia dan Malaysia. Sepuluh titik tersebut bisa menciptakan konflik yang sedemikian luas.
Sanggupkah penjaga di pos pamtas sebagai garda terdepan untuk menjaga wajah Indonesia? Jawabannya tentu sangat bergantung kesiapan personel TNI didukung persenjataan dan fasilitas penunjang yang harus segera diberikan. (***)

(5) Hanya Kata Maaf dan Terima Kasih untuk Guru

UMAR Bakri, Umar Bakri, pegawai negeri. Umar Bakri, Umar Bakri, empat puluh tahun mengabdi. Jadi guru jujur berbakti memang makan hati. Umar Bakri, Umar Bakri. Banyak ciptakan menteri. Umar Bakri, profesor dokter insinyur pun jadi. Bikin otak orang seperti otak Habibie. Tapi mengapa gaji guru Umar Bakri seperti dikebiri.

Itulah salah satu syair karya Iwan Fals yang menggambarkan betapa susah dan sedihnya seorang guru di negara yang katanya kaya raya ini, termasuk di Kaltim. Syair yang sangat tepat menggambarkan kondisi guru di kawasan perbatasan Krayan Induk, Kabupaten Nunukan.
Ketika para guru berstatus PNS itu rela dikirim ke ujung negeri Indonesia, di sebuah daerah terisolir bernama Krayan, sebanyak 354 guru tetap bersedia memberi ilmu kepada warga yang mayoritas bersuku Dayak Lundayeh.
Sayangnya, pepatah lama yang menyebut guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, benar-benar berlaku bagi para pendidik ini. Tak hanya diberi fasilitas seadanya, bahkan gaji, dana sertifikasi, insentif, hingga tunjangan perbatasan juga terkadang datang terlambat.
Hingga media ini mendatangi Krayan akhir Maret lalu, para guru tetap belum menerima hak mereka.
“Ratusan guru bahkan berencana turun (berangkat, Red.) ke Nunukan. Rencananya mau demo dan mendatangi Dinas Pendidikan untuk mempertanyakan dana sertifikasi dan tunjangan perbatasan,” ungkap Gukang, salah seorang guru senior di Krayan Induk yang telah mengabdi selama 25 tahun.
Tak hanya itu, banyak juga guru yang telah mengabdi selama 5 hingga 10 tahun yang belum
masuk dalam daftar penerima tunjangan perbatasan maupun dana sertifikasi.
Ini menunjukkan guru seperti Gukang dan 353 guru lainnya di Krayan masih saja menjadi objek oknum tak bertanggung jawab untuk memperkaya diri sendiri. Dugaan korupsi muncul akhir Desember lalu, ketika Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melakukan klarifikasi ke Bendahara Umum Pemkab Nunukan dan BPD Nunukan.
Dana sertifikasi guru sebesar Rp 1,3 miliar telah cair sejak 31 Desember 2010. Itu dibuktikan dengan rekening koran yang menunjukkan saldo Dinas Pendidikan Nunukan hanya tersisa Rp 558,17 juta. Belum lagi bukti surat perintah membayar No 0650/SPM.LS/DISDIK/2010 tertanggal 22 Desember 2010 berisi surat perintah pencairan dana (SP2D) yang ditandatangani Bendahara Umum pada 28 Desember 2010. Dana tunjangan profesi guru ini telah dicairkan ke nomor rekening Disdik Nunukan nomor 009 140 5512.
Campur tangan penegak hukum sangat ditunggu untuk membuktikan kebenaran di balik dugaan yang secara tak langsung merugikan nasib ke-354 guru di Krayan Induk.
Saat ini di Krayan Induk terdapat 5 taman kanak kanak (TK), 27 sekolah dasar (SD), 7 sekolah menegah pertama (SMP), 4 sekolah menengah atas (SMA), 1 sekolah menegah kejuruan (SMK), dan 1 perguruan tinggi.
Terlihat sudah cukup banyak, tapi fakta di lapangan berkata lain. Semua sekolah tidak memiliki fasilitas perpustakaan yang menjadi laman bacaan bagi peserta didik untuk menambah ilmu dan membuka cakrawala keilmuan.
Para pejabat sering berucap terima kasih kepada guru. Tapi, jika soal fasilitas pendidikan dipertanyakan, hanya kata maaf yang tertutur untuk guru.
Kepala Kantor Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah, Yunus Ngai, tak membantah keterbatasan fasilitas yang diberikan pemerintah bagi peserta didik. Sebagai ujung tombak kemajuan pendidikan di Kecamatan Krayan Induk, Yunus mengaku tidak bisa berbuat banyak.
“Kebijakan ada di Pemkab, Pemprov, dan Pemerintah Pusat. Kami di sini hanya pelaksana. Tidak bisa berbuat lebih. Ketika fasilitas diberi seadanya, ya, itulah yang harus kami manfaatkan,” terang pria yang mengaku jatuh cinta dengan Kecamatan Krayan ini.
Jika anda ingin merasakan sekolah ala Kecamatan Krayan, maka jangan  berharap bisa menemukan komputer, listrik yang memadai, apalagi buku bacaan yang lengkap. (***)

(6) Jalur Alternatif, Murah Tapi Ada Batas Waktu

Terisolir. Begitulah gambaran kondisi geografis Kecamatan Krayan Induk, Kabupaten Nunukan. Sebenarnya ada jalur alternatif yang dapat ditempuh. Tapi jalur itu sangat panjang dan jauh. Juga, ada batas waktunya.

Jika anda ingin menuju Krayan Induk saat ini, maka jalur udara adalah satu-satunya jalur yang dapat dilakoni. Itu jika ditempuh dari Indonesia. Sebenarnya Krayan juga dapat ditempuh dengan jalur darat, tapi harus lewat Malaysia.
Jalur yang ditempuh juga tidak main-main, ada beberapa kali persinggahan yang dilakukan. Total waktu tempuh, minimal 24 jam, itu kalau jalan baik. Jika memasuki musim hujan, akan lebih lama lagi waktunya sampai ke Krayan.
Lelah, sepertinya menjadi kata tepat untuk menggambarkan situasi tersebut. Hanya saja, jika memanfaatkan jalur itu, maka warga Indonesia diberi batasan waktu berkunjung ketika tiba di Tawau. Meski tujuan akhir adalah Krayan, tapi ketiadaan kantor imigrasi di perbatasan Krayan, membuat warga harus kembali ke Nunukan ketika batas waktu telah habis.
Informasi yang dikumpulkan media ini dari beberapa warga yang pernah merasakan jalur alternatif itu, yakni, bermula dari Nunukan menuju Tawau. Jalur air ini dapat ditempuh dengan menggunakan speedboat selama 40 menit.
Setiba di Tawau, warga langsung melanjutkan perjalanan ke Kota Kinabalu dengan menggunakan mobil angkutan. Tarifnya sekarang berkisar 70 ringgit, jika di kurs-kan ke rupiah sekitar Rp 200 ribuan dengan waktu tempuh sekitar 11 jam.
Dari Kota Kinabalu, warga langsung menuju terminal bis menuju Lawas salama 4 jam dengan tarif 30 ringgit atau Rp 90.000. Sampai sini, warga masih disuguhkan jalan mulus dan bisa menikmati pemandangan. Tapi Lawas masih jauh dari Krayan.
Selanjutnya, dari Lawas warga menuju Bakelalan, sebuah distrik yang dekat dan berbatasan langsung dengan Indonesia. Jaraknya sekitar 147 kilometer. Jalur ini melintasi hutan belantara dengan mobil double gardan. Kondisi jalannya berupa tanah. Jika beruntung mendapat cuaca baik, maka waktu tempuh antara 5 hingga 6 jam saja. Tapi jika jalanan berlumpur, maka waktu tempuh bisa satu hari satu malam.
Tarif yang harus dibayar untuk perjalanan yang mirip adventure ini, sekitar 80 ringgit atau Rp 240 ribuan. Di sini, warga akan diturunkan di Pasar Bakelalan. Pasar inilah yang umumnya digunakan warga Krayan untuk memenuhi 90 persen kebutuhan hidup mereka.
Dari sini, warga masih harus menunggangi sepeda motor. Banyak tukang ojek yang siap mengantar ke perbatasan Indonesia. Para tukang ojek ini jugalah yang biasanya digunakan warga Krayan untuk mengangkut barang kebutuhan pokok seperti sembako. Jarak yang harus ditempuh dari pasar ini ke Long Bawan sekitar 15 kilometer dengan biaya 60 ringgit atau Rp 180 ribuan.
Jika batas waktu yang diberikan di Tawau telah habis, maka warga harus kembali ke Nunukan dengan menggunakan jalur yang sama. Jika dihitung-hitung, perlu dana maksimal Rp 1 juta untuk sampai ke Long Bawan.
“Bagi warga Krayan, jalur ini bisa jadi jalur alternatif jika tidak ada pesawat yang masuk ke Krayan. Dulu biayanya lebih murah dibandingkan naik pesawat. Tapi sejak ada pesawat bersubsidi, biayanya jadi lebih mahal,” terang Kepala Adat Dayak Krayan Darat, Yagung Bangau.
Bagi pecinta traveling, perjalanan pulang kampung warga Krayan ini bisa menjadi alternatif pilihan. Tapi bagi warga Krayan, jalur ini menjadi pilihan kedua. Meski jalur yang dilalui cukup panjang dan melelahkan, tapi keinginan bertemu keluarga tercinta mengalahkan rasa lelah, meski ada batas waktu yang ditentukan. (***)

(7-Habis) Antara Awang Faroek dan Awang Damit

Sudah banyak “dosa-dosa” pemerintah yang dibeberkan warga Krayan Induk, Kabupaten Nunukan. Tapi kepedulian Republik Indonesia atau Provinsi Kaltim terhadap warga di sini tak juga kunjung diberikan secara optimal. Justru warga negara asing yang peduli dengan wilayah ini.

Bertanyalah kepada warga Krayan, kenalkah mereka dengan Awang Faroek Ishak? Ternyata, sebagian besar mengatakan tidak kenal. Tapi bertanyalah siapakah Awang Damit, maka masyarakat akan memuji pria tersebut.
Meski sama-sama bernama depan Awang, tetapi keduanya jelas berbeda. Satunya adalah Gubernur Kaltim, pemimpin tertinggi di Bumi Etam. Sementara Awang satunya, adalah warga negara Brunei Darussalam. Sosok pengusaha yang banyak membantu Krayan Induk.
Mengapa pria yang menjadi pengusaha sukses ini mau membantu Krayan yang berada di wilayah Indonesia? Sejarah adakah kata kuncinya. Awang Damit disebut-sebut keturunan Dayak Lundayeh yang telah sukses menjadi pengusaha dan menjadi warga negara tetangga.
Keterisoliran wilayah di mana sukunya berasal membuatnya sedih. Sebanyak 20 unit alat berat pernah didatangkannya ke Krayan untuk membuka jalan tembus dari Krayan Induk ke perbatasan Malaysia. Untuk pekerjaan itu, ia tidak menarik uang sepeserpun. Halangan dari Tentara Diraja Malaysia (TDM) tak membuatnya menyerah mengirim bantuan alat berat.
“Awang Damit-lah yang pertama kali membuka keterisoliran Krayan Induk ke perbatasan Malaysia. Ia tidak pernah meminta uang atau meminta ganti rugi dengan sumber daya alam untuk membuka jalan. Itu tulus dilakukannya karena ia berasal dari sini,” ucap Kepala Adat Krayan Darat, Yagung Bangau.
Kepedulian tanpa pamrih yang ditunjukkan Awang Damit ini jelas membuat anggota DPD RI asal Kaltim, Bambang Susilo dan Luther Kombong, ketua Pansus Perbatasan DPD RI Ferry Tinggogoy, serta Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah Terpencil (BPKP2DT) Kaltim, Adri Patton tercengang.
Bagaimana tidak, sebab pemimpin daerah ini, baik eksekutif maupun legislatif, tidak bisa menjaga amanat yang diberikan warga Krayan dicoblos pada pemilu lalu. Dana pembangunan di perbatasan yang sudah sepatutnya dikawal, justru disebut-sebut menghilang dari APBD Kaltim 2011.
“Pemprov Kaltim saat ini tengah mengupayakan peningkatan landasan Bandara Yuvai Semaring di samping tiga bandara lainnya,” sergah Adri Patton.
Begitu pula Bambang Susilo dan Luther Kombong yang sama-sama menyampaikan jika pemerintah pusat sudah memberikan bantuan Rp 100 miliar untuk pembuatan jalan tembus dengan konstruksi beton sepanjang 60 kilometer dari Malinau hingga Peking. Padahal untuk mencapai Long Midang, ibukota Kecamatan Krayan Induk, masih ada sekitar 80 kilometer lagi.
Tapi apakah pembangunan jalan beton dan peningkatan Bandara Yuvai Semaring yang baru dilaksanakan tahun 2011 ini pantas untuk menggantikan 64 tahun sejak bangsa ini merdeka dan Krayan Induk sudah bergabung di dalamnya.
Wajar jika Mes Kanter (35), warga Krayan mengatakan sudah bosan dan muak dengan janji yang diucapkan pejabat di negeri ini. Sebab peninjauan yang dilakukan tidak pernah berbuah pembangunan. Warga Krayan hanya dijadikan subjek pemanafaatan kelompok tertentu.
Kini warga Krayan memberi batas waktu selama 5 tahun ke depan. Jika permintaan yang telah puluhan tahun mereka sampaikan tak kunjung dipenuhi, mereka akan jadi warga Malaysia. Apakah negara ini akan rela melepaskan tanah dan warganya ke negara tetangga?

“Jika lima tahun lagi tidak ada geliat pembangunan. Maka relakanlah kami bergabung dengan negara tetangga,” tandas Yagung Bangau. (***)
Categories:

3 komentar:

  1. GEPAK (Gerakan Pemuda Asli Kalimantan).Suatu organisasi yg salah satu misinya adalah memelihara adat istiadat serta budaya sebagai warisan nenek moyang yg sangat besar nilainya perlu dijaga,dibela dan dilestarikan untuk anak cucu asli kalimantan. jd bersama-sama kita memperjuangkan kalimantan spy diperhatikan pusat.slm

    BalasHapus
  2. tahun 2013 kemarin, saya dan keempat teman saya berkesempatan menetap sementara di Malinau selama 4 bulan (Feb-Jun). Selama berada di Malinau, kami cukup kaget karena sebagian besar bahan pokok dan makanan ternyata di impor dari Malaysia, namun beruntungnya alat pembayaran masih Rupiah. Selama di Malinau, saya sering mendengar daerah Krayan, kecamatan yg langsung berbatasan dengan Sabah dan terisolir secara akses darat dari Indonesia.Cukup miris memang. Suatu ketika kami berkesempatan ke Semamu, salah satu kecamatan di Malinau. Saya terhentak kagum selama perjalanan darat kesana. Kalau biasanya ada burung enggang terbang yg terlihat adalah dada nya, maka disini punggungnya yang terlihat. Serasa berada di negeri diatas awan. Saya sempat bertanya kepada pendamping lapang kami, kenapa Pemerintah mau membangun proyek jalan 'sehebat' ini ?. Saya bilang Hebat mengingat medan yg sulit dan sepanjang jalan kanan kiri hanya hutan belantara, hanya berberapa desa yg ada disekitar sungai, seingat saya Desa Tadik, karena saya dan tim sempat beristirahat makan siang. Pendamping kamipun menjawab pertanyaan saya kalau proyek ini nantinya akan menembus derah Long Bawan yg masih terisolir akses darat. Pada saat itu saya hanya bilang "Oh gitu" Saat itu, sayabelum memikirkan satu hal yg spesial dari Long Bawan (Krayan) sampai akhirnya ketika saya bertemu dengan seorang anggota Polisi yg bertugas di Krayan. Saya bertwmu Pak Polisi itu di Tarakan, dua hari sebelum saya balik ke Jakarta. Pertemuan itu membuka mata saya mngenai Krayan. Polisi itu menceritakan keterbatasan penduduk di perbatasan namun tetap cinta NKRI meskipun di anak tirikan Pemerintah. Polisi itupun menyarankan saya untuk berkunjung kesana karena Krayan memiliki alam yg indah dan penduduknya yg ramah. Polisi itupun menceritakab kalau masyarakat Krayang secra ekonomi dapat dikategorikan 'cukup mampu', saat ini masyarakat sudah banyak yg memiliki mobil pribadi. Sayapun langsung googling, dan benar Krayan memang memiliki keindahan alam yg luar biasa, karateristik hutan hujan dataran tinggi. Saya berharap suatu hari dapat berkunjung ke Krayan. iLoveKrayan iLoveINDoneSIA

    BalasHapus
  3. mohon info, sekatang dari lawas sudah ada bus atau angkutan umum ke Krayan? berapa tarifnya? ada cara lebih murah ke krayan dari lawas? thanks...

    BalasHapus